Jumat, 20 Maret 2020

Social Distance Kawanan Dino di Hunian 36m2



Terhitung sejak Senin, 16 Maret 2020, baik anak-anak dan suami mengikuti anjuran Guberbur DKI dengan melakukan social distancing terkait meningkatnya status penyebaran Covid-19 menjadi pandemi. Work From Home dan Home Learning. Begitu bahasa kerennya. Alias apa-apa #dirumahsaja. Sebagai seorang ibu rumah tangga, hal ini bukan situasi baru, maklum masih punya anak kecil yang belum sekolah. Jaga kandang dah jadi pekerjaan utama saya. Belum lagi, saya pun termasuk introvert. Maka kerja di rumah (yang berduit maupun ga), olahraga via youtube, bikin konten di rumah, dah lazim ada di jadwal saya. Namun, rupanya tidak membuat saya jadi lebih mudah menghadapi semua ini.

Karena ini bukan liburan. Ketika anak bebas main game di ponsel, nonton sampai belekan, main di luar sampai dekil, atau ke mal hingga duit habis. No. It’s not like that. School from home artinya ada tugas yang disampaikan gurunya. Ada tahfidz yang kemudian jadi dilakukan via online.
Hari pertama, ketika semua masih kagok. Para orangtua lintangpukang. Koordinasi sana-sini. Dokumentasi, lalu share ke nomor yang terkait. Belum lagi anaknya bertingkah karena merasa tengah liburan. Yang dari pagi dah nagih soal, tapi karena belum ada dia jadi main dulu hingga siang. Dan begitu siang, sudah ga mood. Akhirnya butuh 3 jam untuk menyelesaikan 20 soal. Semua usaha ini dikalikan dengan jumlah anak. Itu pun masih ditambah, pertengkaran rutin para kawanan dino. Hasilnya? Senewen tingkat tinggi. Kepala saya pening, mata berkunang-kunang saat magrib menjelang.



Hari kedua, sudah ada jadwal. Disesuaikan dengan jam sekolah. Akhirnya dua ponsel saya jadi bermanfaat. Tadinya hanya satu yang diaktifkan, tapi karena masing-masing anak dapat tugas yang terkadang berupa soal baru yang tidak ada di buku, jadi yah masing-masing pegang, kecuali saya. Ketergantungan saya pada gawai diuji nih. Dari pukul 7 hingga pukul 12. Rupanya penjadwalan ini, membuat anak laki-laki saya kewalahan. Padahal di sekolah toh sama saja muatannya, entah kenapa motivasi berkurang. Mungkin karena tidak ada faktor main di lapangan, jajan di kantin ... Jadinya begitu pukul 11, dia mulai meraung-raung ga jelas. Cuma gara-gara tidak bisa jawab soal, yang dia dah tidak punya hati untuk berpikir jernih pun melihat di buku pelajarannya. Aksi ngambek yang dimulai dari pagi ini dan berlanjut ke siang ini, muncul lagi jelang sore. Akhirnya sesi tahfidz yang biasanya video call dan saya dampingi, saya lepas saja. Terserah deh hasilnya bagaimana. Hasil akhir? Entahlah ...


Hari ketiga, seperti hari kedua. Si kakak sudah bisa mengikuti ritme. Pagi-pagi mengerjakan soal di lorong hingga Om OB datang untuk bersih-bersih. Sebelum zuhur sudah rampung, meski dia ga harus menyetorkan foto kegiatan hari itu. Sementara si anak tengah, dan lagi-lagi anak laki, masih meneruskan mode berulahnya. Tugas dari sekolah sudah mulai bervariasi. Hari itu ada pelajaran agama yang diminta menyerahkan foto dan video saat tengah melaksanakan shalat dhuha dan fardhu. Meski dengan protes sana-sini, “kenapa harus difotoooooo!” akhirnya terlaksana juga tapi Amy ga sempat bikin background rapi. Ya sudah lah, biarin kelihatan jemuran bajunya. Ternyata tidak hanya itu tugas agamanya. Satu lagi, diminta membuat list perbuatan baik di rumah. Nah loh. Anaknya lagi rese begini. Alhasil, hingga jelang pukul 8, saya belum bisa kirim laporan, karena memang belum ada perbuatan baiknya. Wong, bikin kesel melulu. Ya sudah, saya serahkan pada si anak silahkan berasumsi sendiri, apa perbuatan baiknya hari ini. Ditulisnya, “mengambil selotip untuk Amy”. Iye, itu doang yang dia kerjain!!!! (breath in, breath out).



Hari keempat, setelah amukan pol Amy di hari Rabu, saya agak lelah kalau harus ngegas juga hari Kamis ini. Syukurnya gurunya kian kreatif memberikan tugas, dibagikannya video yang kemudian saya balas dengan permintaan voice note dari dirinya. Untuk mengobati rindu anak-anak muridnya. Well, actually, saya yang rindu mengirim anak-anak ke sekolah. Berasa ga sih kalau rasanya kurang berterimakasih pada guru-guru anak-anak kita? Hari ini edisi baper bin mellow lah. Saya pikir variasi tugas dari gurunya akan bikin anaknya lebih semangat. Eh mulai lagi dong tantrum ... kali ini bukan karena susah, tapi karena menurut si anak laki, terlalu banyak soal yang harus disalin sementara waktu sudah menunjukkan pukul 12. Setelah beberapa menit mendengar dia meraung-raung, saya putuskan mendekatinya. Elus-elus dadanya, tanya masalahnya apa. Yak, ilmu parenting Cuma bisa dilaksanakan kalau ortunya juga lagi waras. Kalau lagi ga, mending di kamar aja deh. Anyway, dalam derai airmatanya, si anak laki berucap, “buat apa aku terusin lagi, sudah jam 12!! Nanti ga dinilai lagi!!” Yaelah, anak cowo drama.

Lalu saya kirim pesan ke gurunya. Gurunya bilang akan menunggu, lalu menambahkan, “di sekolah juga tulisnya banyak tapi selesai.” Dan anaknya kemudian tenang sendiri dan mulai melanjutkan tugasnya. 30 menit kemudian, selesai. Eh tapi itu belum selesai, ada tugas PJOK. Saya pikir disuruh kirim video senam, rupanya diminta mengirimkan foto Perbuatan Menjaga Kebersihan di Rumah. Here we go again. Eh tapi rupanya si anak cowo malah semangat ketika diminta lap lemari buku dan difoto saat membereskan mainan- dengan catatan yang difoto pas taruh kotak mainannya, bukan lagi beberesnya. Malu rupanya dia kalau aib kamar kaya kapal pecah gara-gara dia tebar mainan terumbar bahkan viral di media sosial ^^. Urusan tahfidz juga lumayan. Dia jadi belajar menggunakan fitur mengakhiri video (iye, itu kali-kali pertama kawanan dino menggunakan fitur video call secara intens), mematikan suara alias mute saat group video call dan sekarang belajar menggunakan voice note.

Yap hari ini, hari kelima, ada satu pertanyaan yang diminta gurunya disampaikan via voice note. Harus tepuk tanganlah buat walikelas si anak cowo ini. Karena kalau di sekolah negeri kan yah tergantung kapasitas dan kreativitas gurunya supaya ga monoton kirim-kirim tugas untuk muridnya. Harus dijaga interaksinya. Mengingat belum tentu semua anak bisa diajak kumpul via zoom atau google classroom. Pagi ini, guru agamanya mengirimkan voice note agar setiap anak melakukan tadarus pagi. Pembiasaan yang memang dilakukan setiap Jumat. Mana harus difoto pulak. Anak cewe ribet harus pakai kerudung dan ganti celana panjang dan didobel jaket. Maklum belum pada mandi. Dan anak cowo (yes, dia lagi) ngambek karena terpaksa menghentikan tontonannya, Harry Potter and the Sorcerer Stone untuk ke sekian juta kalinya. Akhirnya tadarus sambil pangku alQuran tapi ditutup lalu lama-lama tiduran. Yeah, tadarusnya di luar kepala. Malah saya yang dikoreksi sama dia. But guess what, sekarang pukul 9 pagi, dan dia sudah selesai semua tugasnya. Mungkin karena lebih sedikit dan karena senang dengan salah satu latihan yang pakai google form, juga karena Harry Potter maraton di TV ... yah sudahlah.

Sehari-hari memang nyaris tidak berubah. Saya tetap membangunkan mereka saat subuh dan masih memberi kesempatan bagi mereka main di luar selama 30 menit karena aslinya mereka anak outdoor. Sementara bapaknya, meski judulnya work from home, lebih tepatnya bagi dia adalah work from coffee shop karena kayanya sulit bagi dia kerja kalau digelayutin sama kawanan dino. Sementara saya, yah porsi masak saya jadi banyak sih. Belum lagi diminta suami agak ngestok makanan sebelum harga naik. Kulkas saya yang biasanya isinya kembang es aja, jadi penuh, tumben. Walaupun kepadatan makanan ini sebenarnya akan habis dalam dua minggu, tapi setidaknya ga harus belanja setiap hari. Tapi tiap hari ada aja sih yang perlu dibeli, batere komporlah, roti lah, selai lah, sayur lah. Yah intinya dilakukan pagi-pagi banget biar ga ketemu banyak orang, belanja cepet-cepet, langsung pulang. Ga pakai selfie-selfie ... ^^

Semoga semakin hari kami semakin baik. Begitu juga bumi.


Jumat, 28 Februari 2020

JJS: Sail & Dinner Trip ke Museum Sejarah Jakarta & Pelabuhan Sunda Kelapa


Sudah lama sebenarnya ingin ikut tur dalam kota sama komunitas sejarah atau komunitas pejalan kaki. Kali ini dapat tema dan waktu yang pas bareng Indonesia Hidden Heritage. Yang saya incar adalah Pelabuhan Sunda Kelapanya dan disebutkan akan makan malam di Marina Batavia, persisnya di rooftop nya. Bayangan akan laut dan langit senja tentu membuat semangat saya melambung-lambung. Bayarnya cukup murah, Rp. 165000,- saja sudah termasuk makan malam.


Memang, bisa lebih murah kalau jalan sendiri, tapi yah beda berapa sih, terkadang kan bareng-bareng yang lain meski ga ada yang kenal bisa menciptakan pengalaman tersendiri. Maka setelah saya mampir ke dua Museum: Museum Bank Mandiri untuk melihat Pameran Opera Omnya dan Museum Bank Indonesia yang sebenarnya cuma mau numpang kamar kecil tapi jadinya tawaf juga di dalam sana, saya bertemu dengan rombongan dengan dresscode sailor alias nuansa garis biru putih. Hampir semuanya perempuan. Ada sih laki-laki, last minute tapi. Itu pun orang Indonesia yang baru balik dari Kanada. Lalu ada satu bule, karyawan IKEA. Kalau ga salah ingat, ada 11 orang belum terhitung pemandu dari Indonesia Hidden Heritage.




Awalnya, saya pun kaya yah relain lah, karena saya sudah beberapa kali ke Museum Sejarah Jakarta. Apalagi status saya lulusan Program Studi Belanda. Ceritanya sombong. Tapi rupanya dengan menggunakan guide dari Museum Sejarah Jakarta, saya baru tahu kalau ada yang namanya Ruang Mural. Saya selalu melewati ruangan ini tapi ga pernah benar-benar menyimak kalau isinya adalah bakal mural. Maklum, yang sudah diwarnai baru satu setengah sisi, selebihnya masih sketsa karena pelukis nya meninggal dunia. Duh kalau tahu begini, jadi ingat keterangan di pameran Opera Omnia terkait usaha para seniman mengembalikan lagi warna karya Leonardo da Vinci atau ya bahkan membuat replika dengan resolusi tinggi seperti yang dipamerkan di Museum Bank Mandiri. Harusnya sih bisa ya... soalnya sudah ada yang mulai pudar.. Malah saya inginnya diwarnai saja full.. Biar tuntas...





Setelah dari Museum Sejarah Jakarta, kami naik angkot dari depan Museum Bank Mandiri menuju Pelabuhan Sunda Kelapa. Lucu sih, ada yang sudah lama ga naik angkot, bahkan ada yang belum pernah naik angkot. Kayanya kalau trip begini memang ga bisa manja-manja, yang penting semua bareng-bareng.


Butuh sekitar 15 menit sebelum kami tiba di tujuan. Kebayang kalau kami memilih jalan kaki hahahah... Pelabuhan Sunda Kelapa pernah menjadi pelabuhan utama pada masanya. Kini, Pelabuhan Sunda Kelapa hanya beroperasi untuk kegiatan antar pulau. Yah, kan Jakarta punya banyak pulau. Banyak kapal-kapal phinisi bersandar. Dan tentu saja tumpukan kontainer yang menggelitik hasrat selfie saya. Di Pelabuhan Sunda Kelapa, kami mencoba naik perahu. Satu alasan kenapa saya tidak ajak kawanan dino, karena sudah menyangka akan naik perahu kecil yang sangat rentan terbalik kalau penumpangnya ga bisa tenang.




Langit biru terang dan air laut ga banyak sampah apalagi bau, jadi berperahu 30 menit itu terasa melayang begitu cepat. Sekadar melihat dua mercusuar merah dan hijau yang saya tidak tahu apa cerita di baliknya. Juga untuk merasakan berada di tepi Jakarta. Saya membayangkan, kapal-kapal dari Rotterdam pernah bersandar di sini.





Lepas naik perahu, kami berjalan ke destinasi terakhir yaitu Marina Batavia. Sebuah gedung tua berbatasan merah yang sempat terlihat dari perahu kami tadi. Saya yakin tempat ini dulunya adalah tempat yang terkait dengan urusan pelabuhan. Entah itu kantor atau tempat lelang. Yang pasti, itu bukan tempat makan dari dulu.




Meski kami disambut oleh patung dengan kostum tentara Belanda di gerbang, tapi interiornya justru lebih terasa nuansa tiongkoknya. Entah karena memang hari itu tengah perayaan cap go meh atau karena yang mengelola adalah keturunan Tionghoa. Apa pun, bagi saya itu menggemaskan, rasanya mau berlama-lama di situ. Tamu-tamunya juga banyak yang datang karena kumpul keluarga dalam rangka Cap Go Meh. Di sekitarnya, bersandar kapal-kapal modern... Milik pribadi kayanya.





Kami langsung ke lantai teratas untuk mengejar momen matahari terbenam.  Sayang, awan toska tengah tebal sehingga menutupi matahari. Namun, pemandangan laut dari balkon selalu membuat saya bahagia. Apalagi pemiliknya mengemasnya dengan cukup apik sehingga kami dapat berfoto-foto di berbagai sudut dengan antusias.


Sekalian saja ya saya review Marina Batavia hehehe... Saya secara pribadi suka tempatnya. Tempat ini sepertinya juga digunakan untuk acara perkawinan baik itu indoor atau outdoor. Yang menyenangkan adalah, disediakan tempat shalat. Dan tempatnya tuh cakep. Lucunya papan penunjuk musholla berada di ruangan yang saya yakini adalah tempat untuk pemberkatan perkawinan. Pokoknya ga selesai-selesai deh foto-fotonya






Acara diakhiri dengan makan malam bersama. Bercengkerama lebih lanjut dengan teman-teman baru. Hingga tibalah waktunya kami harus pulang. Nah, di sini nih baru ada kendala... Susah banget order taksi online. Kebanyakan maps nya akan mengarahkan lewat Ancol yang notabene jadi lebih jauh bahkan tersesat. Jadi lebih 30 menit kami menunggu dan untungnya bisa dilewati dengan mencari spot foto bahkan tiktok-an ...


Saya pasti akan ikutan lagi kalau waktu dan temanya pas. So far, dikeker terus di IG dan FBnya Indonesia Hidden Heritage jika ada info terbaru. So  much fun.

Rabu, 26 Februari 2020

RABUku: AYESHA (Uzma Jalaluddin) - Cinta lewat Prasangka




Kaya judul buku yang lain ya. Pride & Prejudice. Kebetulan buku ini disebut-sebut sebagai versi muslim untuk novel klasik ini loh. Dan ini buku terjemahan, bukan buku lokal. Penulisnya adalah keturunan India muslim yang sudah bermukim di Kanada sejak kecil. Dan budaya yang kental seperti di Indonesia, tentu menjadi tantangan bagi mereka, menjelang terbentuknya generasi pertama di negara yang jelas sangat bertolak belakang dari negeri asal mereka. 


Uzma Jalaludin menulis karena melihat koleksi di toko buku di Kanada jarang sekali buku bertema Islam. Kalaupun ada, seringkali yang diangkat adalah tema kekerasan. Padahal, namanya ibu-ibu kan butuh drama ya, butuh romance hehehe... Buku ini pun rampung setelah bertahun-tahun digarap pada 2018 lalu. Yah namanya juga ibu-ibu. Baru bisa mengerjakan yang lain kalau tugas utama sudah selesai. Apalagi, beliau pun bekerja sebagai guru SMA pun ibu dari 3 bujang.



Adalah Ayesha, seorang gadis yang membawa tumbler merah. Begitu yang tertangkap di pandangan Khalid. Tatapannya sayu... Dan cantik. Ayesha baru saja menerima pekerjaan sebagai guru pengganti di sebuah sekolah menengah di Toronto. Sebuah karier yang dianggap aman bagi keluarga besar Ayesha. Pilihan ini termasuk tidak populer, karena di kalangan India muslim di sana lebih mementingkan para wanita menikah muda ketimbang bekerja. Wanita bekerja dianggap sebagai bakal perawan tua alias gak laku. Tradisi perjodohan atau perkenalan keluarga pria ke keluarga wanita pun masih lazim, tapi Ayesha, karena umurnya, mulai mendapat tawaran-tawaran dari pria-pria yang tertolak. Ayesha sendiri tak peduli dengan nyinyiran keluarga besarnya, dia tak peduli telah banyak melanggar budaya-budayamya. Dia lebih memilih sibuk bekerja, dan rutin mengisi acara pembacaan puisi di salah satu lounge. Tentu saja, tak ada yang tahu soal hal ini kecuali sahabatnya, Clara. 

Sementara Khalid bekerja di bagian IT di perusahaan yang sama dengan Clara. Tapi Khalid berbeda. Dia menerima semua budayanya dengan lapang dada. Tak hanya penampilannya yang kerap menggunakan gamis dan berjanggut tebal, bahkan ke kantor. Dia juga pasrah bahwa dirinya akan menikahi gadis yang dipilihkan oleh ibunya. Meski wajah Ayesha telah menarik perhatiannya sejak pertama kali. 


Saat keduanya pertama kali bertemu muka, prasangka telah menyelimuti mereka. Ayesha merasa Khalid adalah orang yang kolot dan suka menghakimi. Sementara Khalid, merasa Ayesha bukan wanita baik-baik karena mendatangi acara di bar alias lounge tempat Ayesha membaca puisi. 


Sialnya, mereka berdua terpaksa berjumpa lagi di sebuah kepanitiaan acara masjid besar. Oleh karena pertemuan pertama yang tak sempurna, Khalid mengira bahwa Ayesha adalah Hafsah. Gadis muda yang dijodohkan sang ibu. Padahal Hafsah adalah sepupu Ayesha, yang seharusnya menangani acara komunitas tersebut. Akan tetapi karena sepupunya adalah remaja manja, dia seenaknya tidak datang dan terpaksa Ayesha mengaku sebagai Hafsah. 


Cinta Khalid semakin tumbuh. Dia bahagia, pilihan ibunya rupanya cocok dengan hatinya. Tapi Ayesha, perasaannya justru kian membuatnya tertekan. Dia tahu, pada akhirnya, kebenaran akan terungkap. Dan semua akan sirna. 


Ayesha memang meragukan cinta. Melihat ibunya yang hampir tak pernah membicarakan mendiang ayahnya. Sementara Khalid, dia hanya ingin membahagiakan ibunya, karena tahu sejak kakaknya dikirim ke India, ibunya kehilangan kebahagiaannya. 


Menarik melihat bagaimana Uzma mengangkat tema Islamofobia, sekaligus juga gambaran para muslim imigran di sana. Memang ada yang Amir, rekan kerja Khalid, yang senantiasa ke barat dan esoknya terbangun di rumah wanita yang berbeda setiap harinya. Tapi ada juga yang seperti Khalid, tak terpengaruh apa pun. Persahabatan Ayesha dan Clara yang meski jelas sangat berbeda, tidak melunturkan ketulusan mereka. Tanpa prasangka. Meski, dalam urusan percintaan, ada banyak prasangka yang lalu lalang. 


Dalam pengerjaannya, Uzma sama sekali tidak bermaksud membuat versi muslim novel Pride & Prejudice. Namun, karena memang itu buku klasik yang sudah berulang kali dia baca, secara tak sadar ada inspirasi yang tertutur di dalamnya. Meski begitu, Uzma berhasil memberikan cita rasa India muslim dengan sangat baik, sehingga bagi mereka yang belum membaca Pride & Prejudice pun akan merasakannya sebagai cerita yang sama sekali baru. 


Ini memang drama sederhana, akan tetapi senang rasanya bisa menikmati sebuah karya yang menjadi pionir literasi novel islami di negeri orang. Semoga semakin banyak tumbuh Uzma-uzma lain di luar sana.


Saya merasa beruntung bisa menghadiri peluncuran bukunya dan dihadiri pula oleh Uzma Jalaludin bersama suami yang tak henti menatap istrinya dengan bangga. Walau tak sempat berfoto bersama karena saya harus menghadiri rapat di tempat lain. Tadinya saya tak hendak meminta tanda tangannya, tapi kawan saya yang juga manajer Noura Publishing berujar, "Sudah jauh-jauh datang ke Jakarta, masa ga minta tanda tangan?" 


Jadi saya titipkan novel ini padanya, dan beberapa hari kemudian, tiba buku ini dengan  ucapan yang pasti sudah dipesan oleh kawan saya hahahaha... Thank you yaa... 

Rabu, 19 Februari 2020

RABUku: ENCORE - Merahnya Cinta Tami

Bermula dari keisengan saya bertanya pada satpam. Siapa tahu ada paket, pikir saya. Toh, saya sadar sedang tidak melakukan transaksi ke e-commerce dalam beberapa waktu belakangan. 

"Ada, bu." Jawab satpam menunjukkan nama saya tertera di buku catatannya. 
Saya jadi kaget sendiri. 

Begitu satpam keluar, dari bentuknya saya yakin itu berbentuk buku. Apa itu bukti terbit untuk editan saya? Tapi sepertinya semua sudah terkirim ... 

Begitu paket itu berpindah tangan, saya tengok pengirimnya. Laily Lanisy...

Who?
I have no idea. 

Abang saya memang sering memesankan buku untuk adik-adiknya di Jakarta meski dia masih betah di UK, tapi melihat nama pengirimnya, saya yakin itu bukan dari salah satu kawan abang yang memang ga sedikit adalah komikus kenamaan. I'm sure it's not comic. 

Sesampainya di unit, saya tutup pintu kamar. Tak ingin anak-anak ikut menyaksikan unboxing paket saya seperti biasa. Takut isinya buku nyeleneh. Saya buka hati-hati, tak ingin membuat sobek tulisan keterangan pengirim berikut nomor teleponnya. Dan saat saya keluarkan bukunya, saya makin bingung. 

Ternyata Laily Lanisy adalah nama seorang penulis. Penulis romance sepertinya. But I still don't know her. Ini dapat dari mana nama dan alamat saya. Kalau nomor telepon ya biasalah, kan memang saya cantumkan. Apa mungkin salah kirim?

Namun, bagi seorang buku antusias kaya saya, pantang mengembalikan buku ^^
Lalu saya buka plastik dan mulai membuka lembaran pertamanya. Untuk Melati. OK fix, bukan salah kirim.

So, this mysterious writer has sent me a book. Dan apa lah lagi yang bisa saya lakukan selain membacanya. 

It's a love story. About Tami. 
Laily Lanisy menyebutkan bahwa novel Encore adalah kumpulan semua kisah tentang Tami yang selama 20 tahun ini telah muncul dalam berbagai bentuk di media-media cetak, salah satunya muncul di majalah Gadis. Selama 20 tahun setia pada karakter yang sama. Wow. Saya nulis 50 halaman saja rasanya mau ganti ke cerita yang lain. 
Tami menderita leukimia. Tapi tidak ada yang tahu selain keluarganya. Kawan-kawannya melihat Tami sebagai mahasiswi yang aktif dan bandel karena sering terlambat atau bahkan mangkir. Mereka tidak tahu, aktifnya Tami karena sudah ada perkiraan tanggal kematiannya di depan mata. Mereka tidak tahu, mangkirnya Tami karena terkapar menjalani pengobatan. 

Tami menerima penyakitnya tapi bukan berarti menolak untuk hidup. Kedua orangtua yang sama-sama dokter, menjadikan rumahnya sebagai rumah sakit untuk memudahkan pengobatan bagi putri bungsunya. Dia cukup 'beruntung' karena menjadi salah satu yang pertama yang mencecap hasil eksperimen terkini. 

Tami tak menghentikan dirinya untuk jatuh cinta pada pria. Pada Bara. Lagipula, siapa yang bisa menolak datangnya cinta? Namun, dia tak yakin akan kuasa menerima cinta dari pria tersebut. 

Penulis mengambil sudut pandang empat tokoh, yaitu: Tami, Bara, Tommy (kakak Tami), dan Oki (mantan pacar Tommy) sebagai caranya meramu kisah. Sebuah kelompok support system. Yang memang sejatinya diperlukan, terutama jika ada salah satu anggotanya menderita kanker. Bagaimana Tommy yang bolak balik Jogja-Bandung di saat adiknya dalam keadaan terendah, atau betapa sedihnya ketika dia dengan berat hati tidak bisa menemani karena ada ujian di kampusnya. Bagaimana Oki yang meski sudah mantan, akan tetapi setelah sekian tahun bergaul dengan keluarga Tommy, tapi bagi Tami, Oki adalah kakak perempuannya. Sesuatu yang hanya dimengerti para sisterhood. 

Laily Lanisy menulis bagaimana Tami menerima cinta Bara, bagaimana Tommy menjadi semangat Tami, dan bagaimana Oki menjadi tempat Tami bersandar. Memangnya apa hubungannya dengan kanker? Banyak. Penyakit tersebut harus diakui tak hanya mampu menggerus tubuh tetapi juga jiwa. Toh tak melulu tentang Tami dan Bara, karena Tommy juga berulangkali muncul dengan tekadnya 'balikan' dengan Oki. Mantan kekasih sekaligus mantan tetangga di masa kecil. Yang sehat saja, punya masalah. Apalagi yang sakit. 

Dengan latar belakang Jogjakarta, kisah ini jadi mirip dengan Dilan dengan latar belakang Bandung. Rasanya ingin turut menyusuri tempat-tempat yang disebutkan di novel tersebut. 

Kisah Tami dan kanker darahnya ini sendiri mengingatkan saya pada sepupu saya (al Fatihah). Saya ingat dengan percakapan kami. Ada mimpi, ada cinta, tapi sulit sekali berharap. 

Cara Laily Lanisy menempatkan detail yang mungkin tidak sedetail Grey Anatomy, membuat bacaan ini mudah dicerna. Meski, karena kelebatan kenangan, seringkali saya harus jeda sedikit saat membacanya. Yah nuansanya agak serupa dengan The Fault in Our Star (yang kebetulan disebut juga di buku itu), dan syukurnya ga sedepresi Me before You. 

Usai membacanya, masih ada sedih yang menggantung. Dan sebelum saya tutup buku itu, saya menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya cepat. 

Hidup ... seringkali tak sesuai yang kita rancangkan. Seindah apa pun itu ....



Jumat, 18 Januari 2019

(Seandainya) Liburan Akhir Tahun bareng Laptop ASUS Zenbook




Akhir tahun terjemahannya dah selesai ya ... Tulis kawan sekaligus pengorder saya.
Siaap. Jawab saya yakin karena liburan akhir tahun memang akan dijalani dengan paket hemat alias tidak ke mana-mana. Jadi saya bisa lah liburan sambil kerja, kan ada suami yang libur juga. Gampang lah. Eh ternyata, yang namanya drama liburan memang tidak pernah absen. Membuat saya berkali-kali menghela napas berat ... seandainya liburannya bareng  ASUS ZenBook S.

1. Bengong di pantai. Akhirnya keluar rumah juga, liburan ke Ancol karena si anak cowo satu-satunya mau lihat lumba-lumba. Sudah dari pagi kami berangkat, hari sudah menjelang sore tapi anak3 masih betah berkutat di Ocean Dream Samudera.

“Katanya mau ke pantai?” saya mengingatkan untuk ke sekian kalinya. Kaki sudah pegal bolak balik ke sana-sini.
“Sebentar lagi magrib loh, ga bisa main air.” Barulah mereka berat hati melangkahkan kaki ke Beach Pool Ancol. Setelah sok tahu mau jalan kaki tapi kok ga nyampe-nyampe, barulah kami naik shelter bus. Sesampainya di sana, anak3 langsung dong ganti outfit, suami ke pos peminjaman tikar gratis, dan begitu tikar tergelar, hanya saya yang duduk di tepi pantai. Dan tugas saya sebagai penjaga tas pun dimulai.

Kalau ingat deadline jadi tidak bisa santai walau sudah di pantai

Awalnya masih santai sambil meluruskan kaki. Menyesap teh dengan gelas kaleng yang dibawa sendiri. Selfie-selfie ... dan tak lama mulai mati gaya. Jadi teringat deadline terjemah yang ditinggal di rumah. Ah, harusnya bisa nih sambil nyicil, karena pasti nanti pulang dari sini maunya tidur. Tapi sengaja ga dibawa karena bawaan piknik kita pun berat. Maklum, tidak punya kendaraan pribadi dan karena mau liburan hemat, makanan untuk dua sesi (dan untuk 5 orang) pun nenteng dari rumah. Masa pakai bawa laptop segala? Berat atuh ... kecuali .... kalau pakai ASUS ZenBook S.

Wahai ZenBook sebenarnya dirimu laptop impian atau tubuh impian?

Beratnya hanya 1 kg atau setara 8 ikan lele, dengan ketebalan 12,9 mm alias 1 cm lebih dikit. Kompak banget, kan? Jadi kalau mau dibawa ke mana-mana, tidak perlu mikir dua kali, langsung saja diangkut.  Belum lagi, ZenBook S dapat dioperasikan di cuaca ekstrem mulai dari 0 derajat Celcius hingga 40 derajat Celcius. Jadi, kalau panas-panasan di pantai juga tidak masalah, kan sudah punya kipas kaca kristal cair yang membuat proses pendinginan efisien dan tenang.

Sedang mengingat-ingat kerjaan dan ZenBook S, datanglah si bungsu. “Mau popmie.” Ah ya, sebanyak apa pun makanan yang dibawa, pasti habis dan buntutnya minta popmie juga ^^


2. Mondar-mandir di playground. Liburan waktu itu hampir usai. Mulai resah dan mati gaya, akhirnya memutuskan untuk playdate bareng tetangga. Judulnya tetap murah meriah. Ke planetarium jam 11 dah penuh dong akhirnya melipir ke Pejaten Village menuju area playground. Saya pikir anak-anak yang dominan usia 9 tahun ini sudah tidak terlalu antusias lah main di sini, eh ternyata betah loh mereka.

Si eneng lagi main rumah-rumahan. Entah kapan bosannya. Ami sudah mati gaya ... 

 Saya yang gelisah. Mondar-mandir di playground, foto sana-sini, tapi rasanya masih jauh dari berakhir. Dan saya pun bergabung dengan para orangtua yang sudah lebih mirip boneka tidak terpakai. Teronggok di pojokan.

 Lagi-lagi teringat deadline terjemah saya yang perkembangannya melambat parah selama liburan ini. Harusnya bisa bawa laptop, tapi saya baru saja mengerjakannya hingga pagi dan mendadak dihubungi tetangga buat playdate. Ya buru-buru deh sehingga lupa mengecharge laptop yang sudah berkurang kapasitasnya itu. Kan percuma juga sudah ditenteng berat-berat tapi langsung mati dalam waktu kurang dari satu jam.

Beda memang dengan ASUS ZenBook Syang menggunakan baterai berkapasitas tinggi. Hanya dalam waktu 49 menit, ZenBook S bisa terisi kapasitasnya hingga 60%. Kemampuan daya tahan baterainya juga bisa mencapai 13,5 jam dari kapasitas sempurna. Jadi tidak ketemu colokan dalam waktu lama, tidak akan gelisah. Kerja bisa lebih lama, tapi hanya butuh sekejap untuk mengecas.


3. Me time yang jadi our time.
Ami di mana.
Message dari nomor suami, yang pasti dari anak-anak saya. Padahal saya baru saja duduk di coffee shop untuk mengambil jatah me time sekaligus mengerjakan terjemahan.

Sigh, saya menghela napas dan akhirnya memberitahukan posisi saya. Dan benar saja, sekumpulan anak-anak yang masih belekan dan pasti belum mandi menghampiri saya . Buyar sudah harapan untuk mengerjakan naskah. Ketiga pasang mata anak-anak itu sudah berbinar karena tahu wifi di coffee shop itu kencang. Jadi mereka sudah mengincar nonton Youtube sampai puas yang memang menjadi privilege mereka selama liburan atau sekadar mengetik cerita. Saya minta waktu 30 menit pada mereka, lumayan lah bisa sedikit mencicil, daripada tidak ada. Setelah itu, saya alihkan laptop saya ke mereka.

Ketimbang ke warung kopi saja diikutin. Demi apa?Demi laptop dan free wi-fi.

Pertengkaran sudah dimulai dari sejak layar itu menghadap mereka. Perihal suara kurang jelas lah, merasa kesempitan ketika menonton bertiga, tombol yang kurang sensitif, dan masih banyak keluhan terkait laptop saya yang sudah berumur ini.

Melayanglah ingatan saya ke ASUS ZenBook S. Layar NanoEdge ultra-high yang dimilikinya pasti akan membuat anak-anak bahkan saya terpesona dengan warna dan detail hidupnya. Belum lagi kemampuan audionya. Dengan bekerja sama dengan Golden Ear menghasilkan ZenBook S dengan dua speaker stereo berkualitas tinggi, juga efek surround system yang membuat nonton streaming laiknya nonton bioskop!

Pertengkaran itu akhirnya reda juga setelah sekumpulan makanan dan minuman tersaji di meja. Me time saya secara resmi menjadi our time dengan segala keterbatasannya. Angan saya masih melayang ... someday, kids, someday ....


4. Di rumah saja. Yass, akhirnya bisa konsentrasi mengetik terjemah di rumah. Sambil goler-goler di kasur, nikmatnya. Anak-anak juga lagi kooperatif, mereka sibuk main bertiga dan lagi mereka baru dapat buku baru jadi anteng. Kadang-kadang si bungsu menghampiri saya minta diladeni. Karena pikiran saya lagi fresh, jadi saya membacakan sedikit kalimat di bukunya sambil mengetik.

Saya lebih suka bekerja di ruangan terpisah dengan anak-anak, karena selalu saja ada insiden jika anak-anak dan laptop berada dalam satu ruangan. Oleh karena keterbatasan ruang, saya memang banyak mengerjakan laptop di kasur, tapi begitu anak-anak datang jika tidak segera disingkirkan bisa berubah menjadi malapetaka. Ya laptop ketiban lah, ketendang lah, terinjak, pokoknya teraniaya. Kan beda dengan ZenBook S yang sudah masuk standarisasi militer MIL-STD 810 G dengan menjalani serangkaian uji coba ekstrem, seperti: uji coba buka dan tutup hingga 20000 kali, dibanting ke lantai kayu dalam berbagai posisi, tes getaran untuk teknologi High G-Shock, bahkan colokan port-nya pun diuji hingga 5000 kali. Hal ini menjadikan ZenBook S tangguh. Jadi kalau tidak sengaja terinjak anak-anak, saya pasti tidak histeris, karena mampu menahan hingga tekanan 25 kg.

Mendambakan kehidupan freelancer dengan laptop zenbook gaya seperti ini


Ketika laptop mulai lelah, saya matikan sambil dibiarkan di-charge di pinggir kasur. Sementara saya menikmati rebahan sambil menatap langit dari jendela. Si bungsu datang lagi, kali ini bawaannya lebih banyak, sehingga dia harus manjat miring ke kasur dan tahu-tahu ... BRAKK! Saya bangkit karena mendadak yakin apa yang jatuh. Dan segera saja temperatur saya naik macam Kak Ros saat gemas dengan adik-adiknya. Sialnya, adalah si bungsu yang kena, dan kebetulan yang paling sensitif. Seketika dia pun menangis drama, padahal saya baru berubah jadi monster level 2. Saya pun pause dan meraih kembali laptop yang sudah terbalik di lantai. Memeriksanya dari sudut ke sudut. Sudah dua sudut gompal di situ entah sejak kapan. Meraba keseluruhannya dengan perih, aduuuh semoga masih bisa dinyalakan.

Jadi bingung, lebih pilu lihat laptop jatuh atau anak nangis?

Saya coba nyalakan sambil harap-harap cemas. Berharap terjadi keajaiban ketika laptop saya berubah menjadi ASUS ZenBook S. Si bungsu masih menangis menatap jendela. Setelah menunggu beberapa saat, alhamdulillah, menyala dengan baik. Lalu, saya tengok ke kanan, si bungsu sudah tertidur. Ah, maafkan ami, ya nak.
 
Terjemahannya akhirnya selesai dengan selamat. Walau gedebrak-gedubruk. Yah, liburan kami memang tidak sempurna, cenderung terlalu sederhana. Kawan-kawan anak saya bahkan menganggap liburan kami tidak menarik.

Berenang saja, cari yang gratisan, tapi tetap saja deadline ditinggal di rumah


“Kamu sedih ga dibilang gitu sama teman-teman?” tanya saya pada si anak tengah yang baru saja bercerita tentang perlakuan teman-temannya setelah mengetahui dia tidak berlibur ke tempat yang jauh.
“Ga. Yang penting aku senang kemarin.” Jawabnya enteng.

Ternyata saya yang harus belajar dari mereka. Bisa liburan dengan hati enteng, ga terbayang-bayang deadline yang terkatung-katung. Fix, 2019 harus ganti ASUS. Biar tidak hanya kerjaan bisa selesai lebih cepat, tapi juga bisa menjadi salah satu sumber kegiatan yang menyenangkan bagi anak-anak semasa liburan. Aamiin, yes?

Kamis, 19 April 2018

KAMYStory: Menjelaskan ke Anak tentang Alkohol



Pagi itu selepas shalat subuh, terdengar bunyi dentingan lift. Lamat-lamat terdengar orang yang keluar dari lift mendekat ke arah lift. Ada beberapa orang, salah satu di antara tersedu-sedu. Lalu pintu unit dibuka. Rupanya tetangga yang mengontrak di depan unit. Tak perlu waktu lama, sedu-sedu itu berubah menjadi raungan. Saya dan Malika saling menatap tanpa bicara. Berusaha abai, fokus ke tugas masing-masing. Raungan yang kian menjadi itu kemudian berubah menjadi ...
HOEEEEK! HOOOEEEK!
Ada yang muntah.
D*mn


Jika bicara tentang alkohol, maka bisa dikatakan toleransi saya nol. Bukan dalam artian saya tidak kuat mabuk, tapi it’s a big no no for me. Masa lalu saya memang ada kenakalan yang saya lakukan, tapi yang berkaitan dengan mabuk, saya jauh-jauh. Ga mabuk saja sudah bandel, apalagi kalau mabuk.


Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi hal ini. Pertama, pengalaman saya mendapatkan beberapa pelecehan seksual oleh beberapa orang sewaktu saya kecil, membuat saya memasang alarm-alarm untuk beberapa hal yang mengingatkan saya tentang peristiwa itu. Salah satunya adalah alkohol, karena beberapa dari pelaku memang punya kebiasaan minum-minuman keras, walau saat mereka melakukan hal ‘itu’ pada saya mereka tidak dalam keadaan mabuk. Hal ini mengacu pada pembelaan orang-orang yang berkata bahwa mereka adalah peminum yang bertanggungjawab. Tetap bersahaja bagaimanapun keadaannya. Whatsoever. Buat saya, itu pepesan kosong.


Kedua, saya cocok dengan kisah seorang pemuda alim yang dijebak oleh seorang wanita. “Aku memberimu tiga pilihan untuk kau bisa keluar dari rumah ini, kau gauli aku, kau bunuh anak ini, atau kau minum khamr,” kata si wanita itu. Dan singkat cerita, si pemuda alim memilih meminum khamr karena mempertimbangkan hanya dia sendiri yang akan menanggung akibatnya. Ternyata dia berakhir melakukan ketiga pilihan tersebut.


Ketiga, suami saya memiliki sejarah persahabatan panjang dengan alkohol. Dan walau saya berusaha untuk selalu berpikir positif bahwa dia sudah tidak mengkonsumsi alkohol lagi, tapi sulit bagi saya untuk mempercayai bahwa teman-temannya juga sudah berhenti sama sekali. Biasa, kan, pergaulan mempengaruhi gaya hidup. Jadi ketika dia bercerita tentang masa lalu saat dia sudah terlalu mabuk untuk pulang ke rumah, biasanya dia akan dibawa kawannya ke rumahnya dan hal itu akan menggembirakan istri kawannya karena itu berarti suaminya tidak main gila dengan wanita lain. Seketika itu, saya langsung ketakutan. Man, bawa orang mabuk ke dalam rumah? Dan ada anak-anak di dalamnya? Ga cuma satu, tapi dua! Belum lagi istrinya berjilbab dan anak-anaknya sekolah di sekolah berbasis agama Islam. Bengong saya. Saya langsung merinding teringat bahwa pelecehan seksual yang saya alami pun terjadi di rumah sendiri.  Oleh sebab itu, saya pun menerapkan aturan. No drinkers allowed to come to my house and meet my kids. No way, jose.

Makanya doktrin tentang alkohol kepada anak-anak tidak semata-mata soal agama tetapi juga tentang hal lainnya.


“Nah itulah yang namanya orang mabok.”
Jawab saya ketika tetangga itu muntah-muntah dan Malika bertanya ada apa dengan dirinya. Lalu saya pun ceramah mulai dari segi medis hingga segi sosial. Bagaimana alkohol mempengaruhi tubuh jika dikonsumsi secara berlebihan dan kadar berlebihan bagi tiap-tiap orang itu berbeda-beda. Dan bahwa intinya lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Saya sengaja bicara panjang lebar semata-mata agar suami tidak mengeluarkan komentar-komentar seperti, “ah dianya aja cupu ga tahan minum” dan sebagainya.


“Mabuk itu apa sih?” tanya Malika di usia batita ketika dibacakan kisah-kisah nabi dan tengah menjelaskan tentang perilaku kaum-kaum sebelum datangnya nabi.
Keluar deh kbbi ala saya. Mabuk adalah kondisi yang disebabkan oleh minum-minuman keras.
“Minuman keras itu apa?”
“Yah, yang mengandung alkohol.”


Lain waktu, dia bertanya usai melihat iklan.
“Napza itu apa?”
“Narkotika, obat-obatan dan zat terlarang lainnya.” Jawab saya singkat.
“Apa itu?”
“Zat-zat yang disalahgunakan orang-orang untuk menjadi mabuk.”
“Obat batuk termasuk obat-obatan terlarang, ga?”
“Ya, ga. Untuk kondisi kesehatan, misalnya sakit memang menggunakan narkotika, tetapi hanya boleh dokter yang mengaplikasikannya. Kalau dipakai-pakai sendiri namanya penyalahgunaan. Itu yang ga boleh.”


“Kalau sudah umur 21 tahun, kita dah boleh minum alkohol?” tanya Safir usai menanyakan tentang tulisan “untuk usia 21 tahun ke atas” di lemari pendingin berisi minuman keras di salah satu swalayan.
“Secara hukum pemerintah sih begitu. Tapi menurut hukum Islam, mau umur berapa pun juga ga boleh minum alkohol.”
“Kenapa masih boleh dijual, padahal kan orang Islam ga boleh minum minuman keras?” timpal Malika.
“Karena yang tinggal di sini kan ga hanya orang Islam. Ga semua agama melarang minum minuman keras.” Saya sok cool.
“Padahal kan jelas ga membawa manfaat. Nanti malah nyusahin orang lain.” Sungut Malika.
“Yaah, kalau di negara-negara dingin seperti di Eropa kan minum alkohol membantu mereka untuk merasa hangat.”
“Tapi di sini kan panas,” Malika menjawab balik. “Memangnya ampunwa Nurul minum alkohol, kan di Inggris tinggalnya.”
“Ya, ga sih.” Kadang saya suka lelah meladeni pertanyaannya.
“Banyak orang yang minum-minum karena ingin terlihat gaya, dianggap bisa meredakan stress, bikin orang happy, karena pergaulan.”
Dan dia merengut dengan penuh ketidaksetujuan.


Saat saya berfoto untuk foto di atas, anak kawan saya yang kebetulan juga turut ikut olahraga bersama bertanya, “Emang itu apa?”
“Tempat orang minum bir.”
“Orang Islam boleh ga masuk ke situ?” dan tahu-tahu ibunya menodong saya untuk menjawab.
“Yaah, tempatnya sih ga melarang orang Islam untuk masuk. Mereka kan yang penting bisa bayar aja. Namun seharusnya, orang yang mengaku Islam tidak masuk ke situ.”


Lalu saya biarkan ibu dan anak itu melanjutkan perbincangan.


Pendidikan ini belum berakhir. Semakin bertambahnya usia, akan semakin banyak pertanyaan terkait hal ini yang terucap dari mulut anak-anak ini. Terkadang saya merasa, anak-anak bingung melihat ada begitu banyak larangan yang diterapkan di rumah tapi bertebaran dilakukan di luar sana.


Celetukan seperti, “Apa orangtuanya ga mengajari itu?” berulang-ulang mereka ucapkan untuk berbagai situasi. Bukan dengan nada sinis, tapi serius bertanya.  Yang lama-lama seperti mempertanyakan kenapa seperti hanya aminya yang melarang hal itu.


Saya rasa di satu fase, jika saya salah-salah mengaplikasikan hal-hal yang hendak saya tanamkan, justru rumah sayalah yang kemudian akan dianggap aneh oleh anak-anak karena membatasi diri. Sungguh, harapan saya semoga fase itu tidak pernah ada. Bahwa mereka tidak punya kebutuhan untuk mencoba hal-hal semacam itu. Karena saya ga yakin bakal kuat mengatasinya.


“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS: al Furqan: 74)

Kamis, 01 Maret 2018

KAMYStory: PR dari Sekolah, Tugas Anak atau Orangtua?




Masa-masa masuknya anak TK menjadi anak SD, sedikit banyak membuat para orangtua deg-degan setiap kali anaknya diberi PR. Terutama PR yang berbau prakarya. Ketika anak duduk di kelas 1, saya masih merasa mafhum jika prakarya anak dibuatkan oleh orangtuanya. Namun, ketika ternyata bantuan itu berlanjut hingga ke jenjang selanjutnya, saya jadi bertanya-tanya sendiri. Mau sampai kapan, ya? 


Sementara itu, saya pun kenal dengan orangtua yang sama sekali tidak mau terlibat dengan tugas anaknya. Alasannya, dia tidak mau menjadi orangtua yang ketika anaknya sudah duduk di kelas besar, masih sibuk dengan tugas anak yang seharusnya dilakukan oleh anaknya, bukan orangtuanya. 


Tanpa bermaksud munafik toh saya sebagai bungsu, masa kecil saya dan juga tugas-tugas saya banyak dibantu oleh kakak-kakak saya.  Kebiasaan saya menunda-nunda tugas membuat tiga kakak saya (dengan berbagai alasan, mulai dari kasihan sampai terpaksa) turun tangan membantu. Maklum, kedua orangtua saya bekerja, dan karena mereka cukup galak, kami meminimalisir hal-hal yang akan membuat keributan di rumah, salah satunya jika kemudian ketahuan saya tidak mengerjakan tugas, pasti kakak-kakak saya yang kemudian kena semprot karena dianggap tidak menjaga adiknya. 


Mulai dari membantu sedikit, hingga pernah juga saya menyerahkan sepenuhnya tugas itu ke kakak saya dengan semena-mena lewat surat pulak. Ya, memang, tugas saya yang dibantu kakak-kakak itu biasanya mendapat nilai lebih ketimbang jika saya membuatnya sendirian. Tapi jangan salah, sepanjang dibantu itu, omelan ga pernah surut. Meski begitu, saya merasa romantis karena saya jadi lebih suka bekerja sama dengan kakak-kakak saya ketimbang dengan teman sebaya saya ketika tugas kelompok. Bahkan tugas peta dunia pernah saya pajang dengan bangganya di kamar karena alasan romantisme. Atau lebih tepatnya ketergantungan? Karena saya jadi terbiasa mencari tahu lewat kakak-kakak saya ketimbang mencari tahu sendiri. Kalau dilepas sendiri, kemungkinan saya blank itu sangat besar. Itulah sebabnya saya merasa dibantu saat mengerjakan prakarya itu perlu dengan beberapa catatan. 


Ketika punya anak, saya mencoba membiarkan anak mengerjakan tugasnya sendiri walau kadang gatal karena lihat karya anak-anak lain yang lebih heboh karena campur tangan orangtuanya. Setelah beberapa kali dibiarkan kok saya kesel ya? Hasilnya tuh ga banget. Rupanya, kreativitas itu ga senantiasa come out of nowhere. Harus ada inspirasi, harus ada pengetahuan tambahan, harus ada feedback, supaya lebih baik. Apalagi ini anak sulung yang memang tingkat ketelatenannya masih belum baik, secara anak outdoor gitu.  


Nah berhubung si sulung ini pun punya kemauan keras, dia juga sulit menerima usulan karena dianggap saya mencoba mengatur-atur. Akhirnya saya pelan-pelan ikut nimbrung, coba mendengar visi misinya dan ternyata emang benar, ini anak blank. Jika ada contoh di buku pelajarannya, biasanya saya biarkan dia mencontoh. Walau tatanannya mungkin tidak seapik yang saya inginkan. Biarin aja deh. Biar dia lihat sendiri hasil teman-temannya (tanpa bilang kalau si A atau si B itu dibuatkan oleh orangtuanya). Cuma untuk memperlihatkan bahwa sedikit usaha dapat menghasilkan sesuatu yang sangat berbeda.  Hanya saja, saya tetap memberikan info-info yang saya tanyakan di grup sekolah karena terkadang saya juga bingung sama penjelasan si anak dan untuk memastikan bahwa karya anak saya tidak melenceng dari yang dimaksud. 



Sejak saat itu, saya mulai punya Pinterest. Untuk memberikan referensi terkait prakarya apa yang dapat dia ciptakan dengan materi yang diminta, dan kemudian memilih atau menciptakan sendiri bentuk yang dia inginkan. Youtube juga menjadi alat bantu agar dia bisa melihat cara sesuatu dibuat. Semata-mata agar dia mendapat wawasan tambahan, tanpa saya harus menunjukkan sendiri karena biasanya dia suka merasa terintimidasi. 


Yang menarik adalah ketika saya membantu, justru jadi menarik perhatian adik-adik yang lain. Saya rasa mereka hanya ingin terlibat dalam family project yang belakangan sudah jarang kami lakukan. Jadilah mereka ngiri, karena merasa saya hanya meluangkan waktu untuk si kakak.  I guess we should make another family project. 


 Family project dapat menciptakan hubungan. Komunikasi yang terjalin dapat membantu menyamakan visi misi, frekuensi, dan bahkan mengeluarkan cerita-cerita atau rasa-rasa yang tidak pernah dikemukakan sebelumnya. Tentunya jika situasinya semua setara ya, kalau ada pihak-pihak yang hendak mengatur, pasti hasilnya hanya menjadi mengerjakan tugas dalam keadaan tertekan. Itu baru saya simak kata-katanya pas mengetikkannya. I guess writing it in the middle of the night might works for this kind of reason. 


OK, kembali ke topik. Kesimpulannya, saya menggunakan momen prakarya anak itu untuk memperbaiki hubungan. Yah anggap saja itu family project, bukankah itu keuntungan legal dari sebuah PR? Lagipula, saya jadi bisa melihat sebaik apa si anak dalam ketelitian, ketelatenan, cara dia melihat keindahan, kerapihan. Cuma lihat dan nilai dalam diri sendiri sih. Soalnya anaknya baperan. Jadi saya bisa ada ide, apa lagi yang bisa saya tunjukkan ke anak-anak guna meningkatkan berbagai aspek yang saya sebut di atas. 

Jadi membantu itu tidak sama dengan mengerjakan sepenuhnya. Namanya juga membantu, ya porsi keterlibatan bintang tamu tidak sebanyak porsinya bintang utama. Soal nilai? Nilai si sulung untuk keterampilan termasuk yang nilainya lebih kecil dibandingkan nilai-nilai dia yang lain. Tapi saya biasa-biasa saja. Orang yang kreatif sekaligus pintar juga sangat atletis itu jumlahnya cuma sedikit, jadi tidak bisa dijadikan acuan hidup, bisa gila nanti. Nah, itu kembali ke masing-masing sih. Melihat nilai sebagai acuan diri, atau sebagai acuan peringkat semata di rapor?