Sabtu, 17 Mei 2014

My Story: Pagi di #Kaerchercleansmonas




Monas menjadi salah satu tujuan favorit ketika sudah memiliki anak-anak. Apalah yang lebih menyenangkan dari area super luas untuk berlarian dengan beragam permainan ditawarkan. Hari itu saya punya alasan lain ke Monas bersama anak-anak. Mau ikut mandiin Monas alias ikutan #Kaerchercleansmonas.

Informasi ini tiba-tiba muncul di timeline fb saya. Yang paling menarik perhatian adalah kompetisi sosial media tentang wajah Monas dalam lima tahun mendatang. Si pemilik grup, Kaercher Indonesia, menawarkan kesempatan bergelantungan bergabung dengan tim pembersih dari puncak Monas. Keren ga tuh. Saya jadi ingat menara Eiffel dijadikan spot bungee jumping.

Saya sih iseng saja tulis pendapat. Emangnya apa bayangan saya? Bayangannya adalah berharap Monas punya trek untuk pengguna beroda, entah itu kursi roda atau stroller. Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa untuk masuk ke Monas kita harus lewat bawah tanah dan semuanya penuh dengan tangga. Ya jalur, ya museum, ya bagian cawan monas, cuma ke puncaknya aja yang ada liftnya. Pokoke pegel deh.

Ga puas hanya ikutan kompetisi, saya baca lebih lanjut timeline-nya. Yang mau ikutan daftar relawan bersihin Monas bisa daftar ke inboxnya. Ya daftarlah saya. Maklum ibu-ibu, butuh variasi hidup, walau ga jauh-jauh dari cerita sapu.

Dan tanggal 15 Mei pun tiba. Berdasarkan info di fb, kami diharapkan berkumpul pukul 8 pagi. Yah anak-anak juga baru bangun jam 7an. Saya juga baru tidur jam 2 karena iseng bikin cupcake monas dulu. Jadilah mereka ga pakai mandi dulu, toh mau main ini. Yang penting sudah pipis n ganti popok buat yg bungsu. Karena baru berangkat jelang jam 8, kami pilih taksi ketimbang kereta. Beda jauh ongkosnya, tapi yah nyaman dikit buat anak-anak yang masih ngegantung mimpinya.

Setibanya di sana, Monas tidak seramai biasanya. Mungkin karena sudah tahu area Monas tutup sejak 5 Mei lalu untuk pembersihan. Area taman sekitar Monas sih masih dibuka. Saya bersyukur ga perlu lewat jalur bawah tanah. Bisa langsung. Setelah daftar, dapat kaos, si cupcake saya kasih ke panitia, trus ternyata anak-anak boleh masuk. Saya pikir ga boleh, kan ceritanya kita mau bersih-bersih....

Rupanya 22 tahun yang lalu sudah ada #Kaerchercleansmonas. Berbeda dengan yang mungkin dilakukan oleh dinas di Jakarta, pembersihan Monas ini memang dilakukan secara keseluruhan from top to toe. Ini merupakan program CSR Kaercher dalam komitmennya membersihkan bangunan monumen di seluruh dunia. Hmmm ... Menarik.

Acara #Kaerchercleansmonas dibuka pukul 9. Jakarta panas banget. Terutama Monas. Beneran deh, jarang ketemu panas kaya gitu. Pakai pawang kali ya (soalnya di kalibata mendung). Anak-anak mencair. Meluluhkan seluruh energi dengan cepat. Setelah melihat tari topeng betawi dan dance, mereka pun mulai rewel. Akhirnya saya pindahkan lokasi mereka ke taman di luar Monas. Lebih tepatnya di dekat Patung Diponegoro. Banyak pohon tinggi di sana dan banyak yang jual minuman. Harusnya mereka bisa nyaman di sana. Termasuk bapaknya =P. Soalnya kan ga lucu saya sapu-sapu sambil gendong bocah.

Tapi rupanya hari itu lebih ke kepentingan publikasi ketimbang aksi bersih-bersih itu sendiri. Wong dah bersih, mau nyapu di mana lagi? Lagian ga termasuk bagian luar Monas. Jadi saya melengganglah sendiri dengan sarung tangan karet dan kantung plastik sampah mengelilingi Monas. Sempat bertanya pada panitia di mana spot sampah yang tepat, saya disuruh ke foodcourt. Ah, tapi semua orang dari berbagai komunitas bersih-bersih Jakarta kumpul di sana. Ya sudah, saya keliling saja. Jalan aja dulu, kalo ga ada sampah ya alhamdulillah. Namanya juga iseng-iseng. Dan memang, di dalam monas aja tempat sampahnya sedikit, apalagi di luar sana.

Lalu saya menemukan tempat sampah di sisi lain Monas. Sisi yang sepi. Saya buka tutupnya, banyak sampah. Tapi kan sudah masuk tempat sampah? Ah, sama aja kaya OB di Kalibata City, dari tempat sampah kecil dikumpulkan lalu dibawa ke tempat sampah yang lebih besar. Satu tempat sampah saja, kantong saya sudah penuh. Dan rupanya si tempat sampah yang keren dari stainless itu, bolong di tengahnya. Ember sampahnya sudah jebol. Jadi, tepatlah saya pungutin sampah di sini.

Hanya ada dua tempat sampah dan keduanya saya bersihkan. Saya sempat takut ketika ada petugas menghampiri saya untuk membantu. I mean gue kan sendiri, nih sisi sepi pulak, mau kabur kemenong? Alhamdulillah keadaan aman terkendali. Kantung sampah saya penuh.

Tadinya mau foto di booth foto di sana sambil tenteng kantung sampah, tapi yah namanya juga ibu-ibu, pengen cepet-cepet selesai saja. Lagian niatnya kan emang mau bersih-bersih bukan mau main-main. Sudah difoto juga sama suami. Usai menyerahkan kantung sampah, lepas sarung tangan, dan cuci tangan, saya memanfaatkan kupon makan, minum, n snacknya. Air putih botol dan bakso jadi pilihan saya. Untuk cendol, bawa buat anak-anak saja. Kasihan kalau inget mereka yang kuyup kaya habis diguyur hujan dadakan.

Saya memang tidak mengikuti acara hingga tuntas walau tidak terik lagi. Maksudnya biar anak-anak bisa makan siang di rumah saja. Tuh kan, alasannya ibu-ibu banget. Jadi walau saya tidak menang apa-apa, saya sudah menuntaskan niat. Iya ga.

Sambil bawa cendol, saya pun menghampiri bocah-bocab yang dah sibuk main tanah dan batu-batu pura-pura jadi tukang jual telur di bawah pohon beringin. Yeah, anak gue gitu loh. Ga afdol kalau ga belepotan tanah. Karena cuaca sudah mulai adem, baru deh mereka ceria dan mau makan. Usai makan kerak telor, kita pun pulang. Dan kaki saya masih pegal hingga sekarang #kurangolahraga hehehe ...

Keep clean, Jakarta.

Selasa, 13 Mei 2014

Grandshow Digital Icon: The Final



Begitu kata Ahmad Dhani di sebuah banner Uzone Digital Icone atau disebut juga Indonesia Digital Icon. Sebagai pemilik Republik Cinta Management, Ahmad Dhani layak disebut si midas. Semua yang dia sentuh, akan menjadi emas. Siapa yang tak mau seatap dengan The Virgin, Once, bahkan Dewa 19? 

Telekomunikasi Indonesia, Tbk bekerja sama dengan RCM mengadakan ajang pencarian bakat di bidang musik. Hadiah utamanya adalah menjadi artis RCM dan dana pendampingan sebesar 50 juta rupiah. Wow, terlalu menggiurkan. 

Yang berbeda dari ajang ini adalah Uzone Digital Icon tidak hanya mencari penyanyi, melainkan juga vokalis, solois, duo, grup, pemain alat musik, band, dan bahkan pencipta lagu, serta kemampuan lain di bidang musik. Sehingga tak heran peminat Uzone Digital Icon ini begitu tinggi sejak audisi pertama di Medan pada 10—11 Februari lalu. Audisi juga menyentuh tiga kota besar lain, seperti Yogyakarta (17—18 Februari), Surabaya (24—25 Februari), dan terakhir di Jakarta (1—4 Maret). 

Selain berbeda sasaran  pencarian bakatnya, kompetisi ini sepenuhnya dilakukan secara digital. Para peserta memberikan rekaman bakatnya untuk kemudian diseleksi oleh juri. Jurinya itu sendiri terdiri dari Ahmad Dhani, Lilo KLA, Tata Janeeta, perwakilan Telkom, juri lokal, dan juri user internet.

Ya user internet. Di sini dibuka penggalangan suara secara langsung dan umum oleh netizen. Namun, jangan khawatir, voting masyarakat umum ‘hanya’ mendapat porsi 30% dari nilai keseluruhan. Mabok orang-orang keren. 

Dan setelah satu minggu yang padat karya di www.uzone.co.id, akhirnya terpilih 14 finalis untuk unjuk bakat secara langsung di Tennis Indoor Senayan pada 14 Mei mendatang.  Di sini mereka akan sepanggung dengan artis-artis RCM. You name it, they’ll show it. 

Ini dia para finalisnya:
1.       Dinda Meicistaria: penyanyi
2.       Fiqih Saputra Sondakh: penyanyi
3.       Valeri Adelia: penyanyi
4.       Theo Ginting: penyanyi
5.       Keey P: penyanyi
6.       Ibnu Safari Rahman: pemain bass
7.       Sigit Sp: pemain gitar
8.       Monic Mutu Manikam: pemain gitar
9.       Davin Naldo Pratama: pemain drum
10.   Auda Ershady Afwaz: pemain keyboard
11.   Dimas Satya Darmawan: pencipta lagu
12.   Hafiz Osman: pencipta lagu
13.   Jovana Zachari: pencipta lagu
14.   Dodi Angelia Rendra: pencipta lagu

Sedangkan untuk kategori band-nya akan bertanding langsung para band yang masuk TOP 51 di Tennis Indoor Senayan untuk memperebutkan tiga posisi teratas untuk kategori band. 

Nah, seru kan. Jangan sampai kelewatan  GRANDSHOW DIGITAL ICON, Rabu 14 Mei 2014 mulai pukul 18.000 hingga selesai. Seatnya bisa dipesan di http://goo.gl/fdlWGc GRATIS. atau buat yang ga bisa nonton langsung bisa live streaming UseeTV di http://goo.gl/b24z6t
 
Jadi kalau kamu ngakunya generasi digital yang cinta musik, kamu harus lihat yang satu ini.

Senin, 12 Mei 2014

Postingan ke-100: More Than One Hundred

Begitu melihat dasbor kemarin, saya terpaku pada angka, 99 pos. Alias sudah 99 tulisan blog yang saya publikasikan. Dan tulisan ini adalah tulisan ke-100 saya di portal melatikoekieku.blogspot.com terhitung sejak kira-kira kurang dari setahun yang lalu. Harusnya bikin giveaway kali ya. Ah, tapi masih tingkat cere begini.

Yang hendak saya tulis pun juga remeh temeh. Sebagai amatiran, yang paling menyenangkan adalah melihat angka jumlah viewer. Mungkin rasanya seperti sedang di bursa saham dan melihat nilai jual saham yang kita miliki meningkat drastis. Angka-angka ini bisa jadi hiburan bagi saya yang sudah lama tidak melihat statistik. Tentu statistik yang satu ini lebih menyenangkan karena tidak terkait dengan unsur rugi juga biaya.

Dan yang mau saya ceritakan adalah posting blog saya yang mencapai angka seratus lebih. Yeah, I know, ini angka belum apa-apa dibanding blogger yang lain. Namun, bagi saya ini justru menarik karena hanya beberapa yang mencapai seratus lebih. Lebih tepatnya hanya dua. Hehehe ....

Suatu hari, saya iseng melihat perolehan viewer setiap posting dan saya terkejut ketika melihat sebuah posting dari beberapa bulan lalu yang tanpa diduga mencapai 100. Dalam dunia penerbitan kondisi ini disebut longlasting book. Postingan ini tentang nonton konser di MEIS, Ancol. Saat penerbitannya di hari pertama justru tidak serta merta menarik pembaca, tetapi rupanya postingan ini terus menarik pembaca. Inilah kondisi longlasting post. Padahal tulisan ini lebih berisi keluhan nonton konser di MEIS. itu pun sudah satu setengah tahun yang lalu. Hanya saja waktu hendak menonton, saya memang kesulitan mencari referensi tentang tempat konser favorit grup Korea. Dan mungkin karena ada beberapa artis yang hendak main di sana di bulan Maret dan Juni (Bruno Mars dan Taylor Swift), maka situs pencari google jadi lebih sering menayangkan blogku. Yah, semoga bermanfaat =)

Sedangkan postingan yang satu lagi merupakan kondisi buku meledak atau di dunia blog disebut blog meledak. Postingan ini meledak sejak hari pertama dan masih terus menjaring pembaca. Sebuah postingan blog untuk lomba kampanye antimerokok oleh Zombigaret. Lucunya tulisan ini bahkan sempat membuat kakak saya percaya. Untung belum sempat telepon mama, bisa jantungan dengar anaknya divonis kanker paru-paru. Jadi tulisan ini cukup made my day lah. Jarang-jarang bikin tulisan yang bisa bikin reaksi cukup signifikan hingga saya harus menuliskan di kolom komen bahwa itu adalah fiksi (yang dicampur banyak nonfiksi hehehe).

Anyway, love this new blog. Dan saya akan tetap menulis. Hingga anak-anak saya turut menjadi follower blog saya hehehe ... Jika umur saya panjang.

Senin, 05 Mei 2014

Anak “Kampungan” yang Tinggal di Apartemen

Kids today? Bagi saya bukan berarti anak-anak yang menenteng gadget terbaru.

Sering sekali saya mendengar komentar orang-orang ketika melihat  Malika dan Safir antusias main di jalanan atau sangat menuntut mengajak ke taman saat berada di rumah nenek atau eyangnya, “Senang ya bisa main di luar. Kalau di apartemen ga bisa lari-lari.”


Saya sih senyum-senyum saja. Justru karena anak-anak  sering main di luar selama di apartemen makanya mereka berjiwa outdoor.




Kalau sudah ada di taman yang memang ada di setiap tower di lingkungan apartemen kami di Kalibata, itu artinya bebas bereksplorasi. Buka sandal dan merasakan setiap tekstur permukaan mulai dari semen, berbatu, rumput, berlumpur, hingga berkubang air;  mau lari, berjingkat, bergelantungan, bahkan merangkak pun boleh. Sebuah pemandangan yang sangat menggugah anak-anak kecil lain. Hehehe ....


Kalaupun terlanjur memengaruhi anak-anak lain, saya lebih sering menjawab sendiri dalam hati ketika para orangtua dan pengasuh mereka berseru, “Hei, kamu sudah mandi!” Yah, kalau dibawa ke taman jangan mandi dulu lah.


“Nanti baju kamu kotor.” Pakai Rinso, doong.


Eh, beneran pakai Rinso biar nodanya hilang. Kalaupun lupa segera mencuci usai dikotori anak-anak, noda yang samar-samar itu jadi cerita bagi saya ke anak-anak. “Tuh, lihat celana kamu sobek.  Jatuh di mana? Kenapa? Lain kali berarti kamu harus apa hayo?” atau “Nih, noda lumpur. Waktu main di mana? Bikin apa sih?” Dan seketika nuansa bermain di taman muncul kembali ketika kami kembali ke unit dalam bentuk cerita seru.


Seseru video yang diunggah Rinso Kids Project ini.






“Seberapa sering Anda melihat wajah bermain anak Anda?” Kalimat tanya yang tertulis di akhir video.


Saya menjawab sendiri. Sering. Saya menyadari tengah menciptakan syaraf-syaraf baru di otak mereka ketika melihat wajah-wajah mereka yang seolah ingin terus melebarkan senyumnya, jeritan-jeritan senangnya (yang mungkin mengganggu bagi orang lain), dan perasaan akan sebuah kebebasan. Atau ketika melihat mereka serius meniti sesuatu agar tidak jatuh. Dan wajah puas ketika berhasil melewati tantangan.


Rinso Kids Project sendiri adalah program “penyadaran” bagi orangtua untuk melihat dari sudut pandang #kidsToday. Ada empat video yang diunggah, Wajah Bermain, Menjadi Anak Kecil, Anak-anak Perkotaan, dan Anak-anak yang Sibuk. Tiga di antaranya (Wajah Bermain, Menjadi Anak Kecil, dan Anak-anak Perkotaan) sangat berhubungan dengan saya. Maklum, kedua anak saya masih usia balita dan saya tidak terobsesi dengan segala les akademis guna menciptakan bayi genius.


Dalam video Anak-anak Perkotaan, sebenarnya lebih mewakili yang saya rasakan (atau mungkin yang dirasakan anak-anak). Ketika memiliki tempat bermain di mana tidak ada yang melarang ini itu atau bisa berjalan di trotoar dengan aman dari serangan motor yang tak terkendali lajunya, sehingga Amy tidak perlu senantiasa memasang muka militer setiap kali terpaksa keluar dari komplek apartemen hanya bersama anak-anak, dan yang lebih terpenting adalah lingkungan yang aman dari tindakan kriminal dan asusila.


Sedangkan di video Menjadi Anak Kecil, saya merasa Malikalah yang tengah bicara dengan saya ketika salah satu narasumbernya berkata, “Maka dari itu, kami butuh bantuan Anda. Karena ketika kami bermain pasti akan kotor dan berantakan.” Entah kenapa kalimat itu terjemah dalam otak saya menjadi, “Jangan marah-marah, Amy.”


Ya, baiklah. Kan ada Rinso.



Minggu, 04 Mei 2014

Amy’s Story: Explaining Frozen


I know I’ve been late for months for talking about the movie Frozen. I just wathced it for the last 3 weeks and it was overwhelmed. I wonder how was it for moms whose have been into this fever for the last 4 months? Crazy.

I myself don’t think that Disney’s movies are suit for Malika and Safir. But I still introduce it to them anyway just to let them get into the conversation between their peer. Not really my habbit. Though I’ve prepare myself for the upcomings questions and things that I need to explain accordingly our religion. Well, Malika talks no english, that’s why she asks me how the story goes.

Let me what I need to explain more or differently about Frozen, maybe you can share yours. J

 

  1. Why did Elsa get upset in the first place?
    “We would like to ask for your bless ... for our wedding!!” said Anna and Hans in the same time. I have doubt in explaining marriage in this scene, so I just said that Anna asked Elsa’s permission to let Hans spend a night over.
    “Why he may not?” Malika asked.
    “Well, it’s not proper for a male friend to spend a night at female’s house.”
    “So is it proper for female to spend night at male’s house?”
    HELL, NO!
     
  2. Magic/Curse Power
    How do you explain magic or curse? I have no idea. It was an absurd adjective for Malika. Then I just said to her that every man has their own special ability. Nothing bad about it if you use it to help other people.
     
  3. Selling Ice for Business
    At first, when I said that Kirstoff is selling ice, she tought that Kristoff was an ice cream man. “No, he was selling ice blocks. Like the one we see, with themotorbike, remember?” when I finished said that I felt that Kirstoff was not that cool. ;p
     
  4. Why Elsa Wore Less Dress?
    At the “Let It Go” scene, Elsa changed her dress with shoulder less gown. Malika asked, “why did she wear less dress?”  I have nothing to say to support Elsa other than, “yeah, why did she wear it anyway? Let’s ‘dum-dum her’.”
     
  5.  The Long Tail
    Remember Elsa’s long tail gown? Malika loves it. She even wore her harnes bag and let the rope fall down to the floor. I let her do that at home, but when she also wear it at the park and the mal, it was really bugging me (and other people). So I told her to wear it only at home. “Why? Elsa wears it everywhere.”
    “Yeah, she is a queen. No one walks behind her. She didn’t go to the park to play swing and slide like you.”
     
  6. True Love
    True love. What is true love anyway? This phrase was a nightmare for me. As I can see it in my old diaries. I was trap in the illusion of true love :D. When Malika asked, I said what Olaf said, “True love is put someone else’s more than yourself. To sacrifice.”
    “Like a lamb?” She refers to a sacrifice day, Idl Adha.
    “Nooo .... To help other people.” I am not sure this is the right answer ^ ^’
     
  7.  The Ending Kiss
    Errrrgh ... this is why I don’t like Disney’s movies, they always put a kissing scene, it made me harder to explain. I actually kiss the father of the kids in front of them. K pop mania will said it “bubu” kind of kiss. So when Kristoff kissed Anna, I just said that they have became bride and bridegroom, that is why they allowed to kiss one another.  Not really a lie, right? Just because there are no wedding scene, doesn’t mean it did not happen, right? ^^
     
  8. Playing Part
    Like always, after seeing a movie or having a moment, Malika and Safir would like to play part. At first, Malika wanted to be Sven. The reindeer. And Safir became the snow giant. A moment when there were lots of growls and slide scenes. But then they developed the part, Malika became Anna, and because Safir is a boy, he was chosen to become Kristoff. And they kissed!!!  *big knock in my head
    After that kiss scene, I told them that brother and sister don’t kiss on the lips. If you want to kiss, kiss the forehead or hugs.
    “But we were just pretend.” Said Malika.
    “Well, even if it just a pretend, you still may not do that.” I said with a sharp voice. This is what I do when I have no smart answer. ^^”
    Then Malika wanted to be Elsa. She asked Safir to become Anna. “Nooo .... Safir is a boy. Not a girl.” Their father was really concern about it. You know, most fathers don’t want their boys to act feminine.
    “But I am the big sister. And Safir is my little brother. That is why he needed to become Anna. Anna is Elsa’s little sister.” Ow keeeeh this genderless perception needs to be grown more. Mommy’s job then.
    “Why don’t you become the snow giant, Safir.” I was trying to distracted Malika’s idea. He shooked.
    “Or Hans! And I’ll be Anna. So we will play the scene where Anna become an ice stone.” I was in a good mood of being creative.
    And they agree. Horray ....
     
     
    OK, this is a hard work for me. That is why I avoid horror movies even if it was a comedy. I mean, kids in their ages could still see ‘things’, you know. I no longer watch k pop music video on korean channel, because they become even sexier. I rather watch Breakout to see the cut version of music video. So at least I could hear the music without bothering to explain those kind of thing. Hey, mom is allow to get tired of something, isn’t it? Just make it slowly but sure. J
     
     

Jumat, 02 Mei 2014

Hari Pendidikan Nasional, Kelas Inspirasi, dan Ibu Rumah Tangga

Rupanya hari ini adalah hari pendidikan nasional, yeay ... Selamat untuk anak-anak Indonesia di mana pun kalian berada. Bicara soal Hardiknas, saya jadi ingat kegiatan Kelas Inspirasi yang saya lakukan beberapa waktu lalu. Kelas Inspirasi adalah sebuah program pengenalan karier atau lazim disebut cita-cita. Bagaimana sebuah cita-cita terbentuk, diusahakan, lalu tercapai untuk kemudian bermanfaat.

 Di luar negeri sana biasa disebut "career day". Hari ketika orangtua murid memperkenalkan bidang kerja mereka. Saya ingat adegan terakhir film Night at the Museum, ketika si tokoh ayah (Ben Stiller) dengan bangga maju ke depan kelas bersama anaknya dan berkata, "Saya adalah seorang penjaga malam di museum sejarah nasional."

Adegan ini menjadi menarik karena sebelumnya si ayah tidak punya pekerjaan tetap. Sedangkan si anak terlihat sangat membanggakan kekasih ibunya sebagai  ahli saham. Sebuah karier yang bahkan bagi si ayah tidak lazim diucapkan oleh anak SD. saya bahkan sempat geli saat di salah satu sesi Kelas Inspirasi ada yang menyahut ingin menjadi pengusaha saham. Rupanya baru saja ketemu dengan seorang analis saham =).

Toh, memiliki karier dan kehidupan mapan adalah pilihan yang terlihat menjanjikan ketimbang berpindah satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Terlebih untuk para lelaki, para ayah, para suami. Bagaimana dengan kaum perempuan?

Dalam satu film yang salah satunya dibintangi Julia Robert yang berperan sebagai dosen sekolah wanita, diceritakan  Pada masa itu, cita-cita para wanita adalah menjadi ibu rumah tangga. Menikahi pemuda baik (dalam artian kaya dan sukses) dan menjadi ibu-ibu cantik dengan anak-anak yang manis. Mereka yang ingin berkarier dianggap melenceng atau tidak laku.

Lain halnya saat menonton Carrie Diaries. Dengan latar belakang era Madonna, pemikiran seperti di atas dianggap kuno dan mengekang ekspresi wanita. Mereka yang menjadi ibu rumah tangga adalah mereka yang tidak punya selera fashion, membosankan, dan munafik.

Sedangkan di zaman sekarang jika merujuk tayangan Oprah, banyak orang (dan wanita) terpaksa bekerja bahkan dengan dua atau tiga pekerjaan sekaligus dalam sehari oleh karena dia adalah orang tua tunggal. Uang adalah kebutuhan paling utama. Tidak bekerja tidak ada uang. Tidak ada uang, tidak ada rumah.

Memang gambaran di atas lebih menggambarkan masyarakat Amerika, tidak bisa dijadikan acuan bagi negara kita. Indonesia bahkan sangat nyaman bagi sebagian masyarakat walau tingkat tunjangan hidupnya tidak lengkap seperti di Eropa. Seperti para orangtua murid di tempat saya melakukan Kelas Inspirasi. Mayoritas muridnya adalah warga perkampungan padat yang selalu terkena banjir. Menurut hasil bincang-bincang dengan guru, orangtua murid-murid itu justru banyak yang tidak bekerja karena anaknya sudah mendapat tunjangan sekolah. SD negeri memang memiliki program gratis dari pemerintah. "ah anak sudah bisa disekolahin ini ..." kebanjiran dianggap berkah karena bisa mendapat sembako gratis. Di lain pihak, ada wanita yang bahkan niat banget jadi TKW dengan segala pemberitaan negatif yang ada. Demi uang. Demi kesejahteraan.

Antara ironis dan dilema.

Dilemanya adalah betapa saya ingin masuk ke kelas dan mengatakan, "saya adalah ibu rumah tangga. Saya lah guru pertama bagi anak-anak saya. Sayalah mentor anak-anak seumur hidup saya. Sayalah supervisor mereka. Sayalah yang bertanggungjawab untuk manajerial urusan umum (kebersihan, konsumsi makanan, kurir), keuangan, disiplin, keamanan, dll.  Saya juga termasuk pilihan karier. Tapi mungkin saya tidak akan mendengar ada anak perempuan yang bercita-cita menjadi ibu rumah tangga. Biasanya cita-cita itu muncul belakangan.

Hmm .... Saya rasa apa pun pilihan kita, mari  samakan visi misi bahwa yang dibutuhkan bangsa ini bukan hanya  pintar melainkan generasi bermoral dan moral sejatinya diajarkan di rumah, oleh kedua orangtua mereka. Para ibu-ibu di rumah atau di luar rumah, tetaplah bersinar di hati anak-anak, agar mereka tidak tersesat.

Diary Sang Zombigaret: Membayar Dosa Masa Lalu si Gadis Perokok


Uhuk uhuk.

Suara batuk itu terdengar lagi di sela tawa mereka. Dua bocahku. Pilu rasanya hati ini setiap kali aku mendengarnya. Ketika kenyataan menghantamku seratus kali lebih hebat. Lebih nyata dari setiap ngilu yang kurasakan saat ini akibat efek kemoterapi. Ya, bagi seorang ibu, sakit anak adalah derita. Dan lebih menderita lagi jika sakit itu ditularkan oleh aku, ibunya sendiri.

Awalnya hanya pemeriksaan rutin anak-anak ke dokter anak langganan kami. Namun, melihat tubuh kedua anakku yang turun drastis berat badannya akhirnya pemeriksaan berlanjut menjadi rontgen dan kemudian suntik mantoux. Hasilnya, positif TB.

Aku langsung melirik suamiku dengan tatapan menuduh. Si perokok aktif dan pernah mengalami pengobatan TBC. Dengan kesal, aku turut memeriksakan diri. Namun, urutannya kini berbeda. Usai menjalani rontgen, aku menjalani serangkaian pemeriksaan darah. Aku curiga. Ada yang tidak beres. Tak banyak yang kupikirkan, karena aku fokus di pengobatan anak-anak yang harus disiplin selama enam bulan. Aku dialihkan dari satu dokter ke dokter yang lain. Entah kenapa, aku pun tak terpikir untuk bertanya sejak awal. Ketika akhirnya aku bertanya, ada sedikit sesal, karena jawaban panjang lebar si dokter hanya tersangkut beberapa kata di kepalaku. Kanker paru-paru. Dan ada TBCnya.Ternyata aku penyebabnya.

Pikiranku membawaku melayang pada perkataan abangku, “Bagi perempuan, sekali kamu merokok, maka tombol risiko kanker otomatis menyala.” Ucapannya  dua puluh tahun yang lalu, ketika mengetahui aku merokok.

Aku menolak mengindahkan protes bagian otakku yang lain, “tapi aku sudah berhenti merokok sepuluh tahun  yang lalu.”

Tak ada yang merokok di rumahku semasa aku kecil. Aku hanya melihat orang merokok ketika adik-adik ibuku datang. Namun, yang membuatku tertarik adalah ketika melihat kedua kakak perempuan papaku dan juga anak perempuannya merokok. Saat itu, usia 9 tahun, aku merasa mereka terlihat seperti perempuan berkelas nan dinamis. Memang di budaya Sumatra zaman dulu, para wanita dengan tingkat strata tinggi biasanya merokok sembari mengunyah sirih. Atas nama budaya aku bahkan mengidolakan salah satu tokoh perempuan cantik dalam kisah Jawa yang merangkap sebagai penjual rokok, ketika para lelaki mengantri untuk membeli rokok bekas hisapannya. Aku merasa terikat dengan sejarah saat memikirkannya.

Lalu rokok adik-adik mamaku lah yang menjadi modal awal saya mencoba merokok. Tidak ada yang mengajari. Aku belajar cara menyalakannya yang tidak seperti lilin. Tidak ada rekan kejahatan, hanya aku sendiri. Saat teman-teman SMP baru belajar merokok, aku justru menghindar dari mereka. Ah, norak, gue dah jago.

Aku memang pongah, sepongah ketika aku menyindir suami. “Gue dah move on. Kamu kok malah masih sibuk cari identitas diri?” Ya, saat itu aku sudah berhenti. Aku sudah bosan merokok. Lagipula di zaman sekarang merokok tidak lagi membuat aku terlihat keren atau berkelas atau dinamis. Kenapa? Karena aku lihat para ibu pengemis, gadis-gadis jalanan, mereka pun merokok. Aku hilang rasa. Itu semua omong kosong. Aku tak lebih dari seorang zombigaret. Berkeliaran dengan paru-paru rusak dan berdandan seolah aku keren.

 


Aku belum bebas. Seperti banyak penderita kanker lainnya, setiap manusia memiliki kemampuan masing-masing terkait organ tubuhnya. Ada yang sensitif, ada yang tidak. Ada yang merokok ratusan tahun tetapi masih hidup. Ada yang menjadi perokok pasif tetapi jadi penderita. Aku ‘hanya’ merokok lima belas tahun. Bukan perokok berat. Tapi, Tuhan berkata lain. Aku membayar dosaku.

Suamiku datang untuk merapikan selimut yang memeluk tubuhku. Dia kini berhenti merokok. Akhirnya. Dulu, aku takuti dia dengan masa depan anak-anaknya jika dia meninggal cepat. Namun, dia berkilah dengan jumlah asuransi yang akan anak-anak dapatkan. Ah, rupanya jika yang tercinta sakit parah akibat merokok barulah dia tergugah. Dia pun memulai hidup sehat. Sesehat-sehatnya.

“We will survive.” Bisiknya di sela nyaring pekik riang anak-anak yang tengah bermain di ruang tengah. Semoga.


Sumber foto: www.facebook.com/zombigaret