Sabtu, 19 Juli 2014

Amy's Story: Pertama Kali Membuat Cover Music Video

Lelah dengan urusan capres 2014, membuat mata saya terang benderang saat melihat update status salah satu laman boyband Korea saya. TAEYANG EYES, NOSE, LIPS YG COVER PROJECT by YOU. Proyek promonya YG entertainment untuk salah satu member Bigbang, Taeyang.

Cover music? Ah, sudah lama ingin membuatnya. Sering terbentur dengan alasan-alasan yang kemudian terdengar mengada-ngada. Kenapa ga sekarang? Emang sih, Taeyang bukan bias pertama saya, posisi pertama masih ditempati TOP doong. Namun, kalau mengaku VIP BIGBANG harus bisa menunjukkan dukungan, kan?

Tapi mau bikin kaya apa ya?

1. Diferensiasi
Ini sih kaya waktu jadi editor in chief, setiap mau mengusulkan judul buku harus ada tuh kolom diferensiasi. Nah, mikirlah saya mau bedain apanya. Secara perlengkapan minim. Ga mau jadi jiper mikirin di luar sana pada niat-niat banget kalau bikin music cover. Lagian proyek ini lebih ke bagaimana saya menantang diri saya.

Bahasa Korea ga lancar. Artinya ga hapal. Sedangkan saya ga bisa menghayati nyanyian kalau ga benar-benar mengerti arti tiap baitnya. Ya suds, buat versi bahasa Indonesia.

Mengubah ke bahasa lain itu bukan perkara mudah jika hendak dinyanyikan juga. Seperti kata Tablo saat membuat cover version Eyes, Nose, Lips dalam bahasa Inggris, seperti membuat lagu baru.

Saya ambil liriknya dari terjemah bahasa Inggris. Lalu saya coba terjemahkan, lalu disamakan rimanya, coba dinyanyikan, terus diedit (tetep ya diedit, dasar editor). Semuanya dikerjain pas anak-anak tidur siang. Nyanyinya bisik-bisik, wong cuma ngetes pas atau tidak rimanya.


2. Hapalkan
Awalnya saya langsung mencoba rekam dengan ponsel, tapi di situ terlihat wajah saya yang terlihat menghapal. Bibir komat-kamit dan suka ada jeda bengong. Yah, rekamannya ntar dulu kalau gitu. Saya pun mencoba menghapalnya benar-benar. Sambil cuci piring, sambil jemur baju, sambil mandi ... Padahal Yusuf Mansur di kultum ramadhan malah suruhnya hapalan Quran. Duh. In sya Allah masih sempetin tadarus koooook, beneran deh. Belum sampai hapalan memang.

Nah, efek dari menghapal ini memberi efek yang signifikan buat saya karena mengurangi mata kedip-kedip, bibir kedut-kedut, dan bisa fokus pada mimik.

3. Mimik
Eyes, Nose, Lips adalah lagu tentang orang yang belum move on. Jadilah depresi. Gimana coba mau akting depresi kalau di balik pintu kamar kedengeran bocah-bocah cekakak-cekikik mencurigakan? Tapi akhirnya saya yang harus move on, kalau mau lancar dalam satu take, relakanlah anak-anak main apa pun. Biar cepat selesai. Emang itu hanya video 4 menit, tapi bikinnya dah dari kemarin....

4. Setting
Latar belakang jadi penting. Karena saya ga bisa terlalu mobile jadi ya pilihannya cuma di sekitar unit. Coba di kamar, gorden ditutup eh jadi gelap. Di balkon terang, tapi kok ya ga enak ya sambil liatin jemuran? Mana sempit pulak. Lalu subuh-subuh coba keliling Kalibata City. Mau pakai latar ujung-ujung tower, banyak yang lalu lalang. Belum lagi burung-burung bercuitan. Lah, ga pas ma lagu depresi.

Coba di taman bermain, kebetulan habis hujan. Eh karena di samping parkiran motor, ramelah sama mereka yang mau berangkat kerja. Kok ya dah pada berangkat jam segini? Bising jalan raya. Ada OB yang lagi nyapu. Ada sopir lagi cuci mobil. Ah, ga bisa ngumpet gue. Malu tauuu .... Akhirnya kembali ke kamar, dengan sudut pandang yang berbeda. Rupanya saya ga bagus kalau di shoot dari depan hehehe ... Embem.

Dan karena sudah mepet deadline dan ayahnya anak-anak ga kunjung berhasil bawa ke taman tanpa saya, jadilah video saya masih terdengar suara anak-anak main.

5. Kostum
Untung close up. Itu pun dah pusing mikir kerudungnya. Mau yang simpel, ga ribet, ga warna warni. Ga pakai pasmina karena kan terlalu menjuntai.  Mau biasa aja, kok ga pantes sama lagunya. Pakai jilbab instan, keliatan ibu-ibunya. Yah walau Taeyang cuma pakai celana doang di MVnya, saya yah versi jilbaban lah. Jadi saya pakai model pas pemilu. Haiyah.

6. Peralatan
Kenali peralatanmu. Ini penting loh. Saya tadinya mau pakai ponsel saja, tapi ingat kalau lumia itu harus terkoneksi internet kalau mau transfer video, kayanya ribet ya. Jadi saya minta pinjem kamera suami.

Saya yang malas tanya banyak-banyak ketemu suami yang malas jelasin banyak-banyak. Niy orang ga takut gue rusakin ya barangnya? Ga tahu apa dia, tanganku kan bau. Barang elektronik banyak yang rusak di tanganku. Learning by doing lah.

Tadinya mau sambil pegang, tapi pegal. Coba pakai tripod. Nah, belajar deh cara pasang kamera ke tripod. Ga sempurna karena beberapa kali kameranya ngedongak. Dan karena di atas kasur, kaki saya menahan tripod itu agar tetap stabil.

Ah, tapi rupanya saya ga tahu cara memindah fokusnya. So, video itu fokus di background sedangkan saya blur hehehe ....

7. Partner in Crime
Yang membuat saya menunda-nunda adalah ga ada partner in crimenya. Saya sempat meminta bantuan tetangga (tp beda tower), tapi waktunya ga nemu. Maklum, ibu-ibu juga.

Tapi itu saja sudah cukup. Setidaknya ada teman berbagi ide ngaco. Yang sempat mau syuting di taman Honda lah. Mau syuting jarak jauh trus nanti suaranya dubbing pake peralatan tetangga yang lain yang di unitnya punya perlengkapan suara. Maklum ada yang suaminya music director salah satu stasiun tv. Haiyah, niat banget.


Ini membuat saya semakin termotivasi menyelesaikannya. Malu dong, dah diskusi panjang lebar tapi ga jadi. Itu mah ati yang dulu. Hehehe ...

Nah setelah semua itu, jadi deh video saya. Enjoy =D


Yg mau liat solahkan ke http://m.youtube.com/watch?feature=youtu.be&v=VrNnUj8y3ZI


Senin, 07 Juli 2014

Amy's Story: Ternyata Dia Rindu Teman-temannya

Sudah hampir sebulan sejak Malika bagi rapor kelulusan playgroupnya dan kemudian memasuki masa postpone sekolah formal. Oleh karena kebetulan juga masa liburan sekolah, jadi ya Amy belum pakai jadwal belajar di rumah alias emang belum bikin. Homeschooling memang menuntut ibu yang rajin nan aktif juga gesit dan tetap ceria-kenapa juga gue milih yang susah gue aplikasiin ya?

Seminggu berlalu, Malika senang bisa libur. Ga usah sekolah lagi. Saya masih rutin bawa anak-anak main di taman. Pernah juga iseng bertiga pergi ke taman Honda, sekalian beli bahan kue. Lalu ikut Amynya antar kue ke Ampera, yah walau jadi muntah-muntah karena naik mobil AC pagi-pagi. Kebetulan di penghujung minggu itu, alias hari Jumatnya, teman sekolah Malika berulangtahun. Ambil spot di taman Green Palace, divisi apartemen betulan di Kalibata City. Jadi saya memang sejatinya tidak punya akses resmi ke sana. Berhubung ada yang ultah jadi bisa masuk deh. Area taman ini ada kolam renangnya. Oleh karena Malika dan Safir baru saja muntah-muntah di taksi, saya tidak bawa set nyemplung. Lagipula ada teman kuliah saya datang dari Belgia, masa saya sibuk pegangin anak-anak di kolam?

Toh, akhirnya pada main air juga. Ketika acara ulang tahun selesai, saya mengajak Malika pulang, ada banyak alasan selain supaya saya bisa punya waktu bersama teman saya, Malika dan Safir sudah biru bibirnya. Jadi yah emang harus pulang. Eh, rupanya si eneng protes. "Aku  kan mau main sama teman-temanku. Masa ga boleh? Aku kan sudah lama ga main sama teman-teman. Amy niy, masa Malika disuruh main sama adek terus?"

Yaaah, ada yang curcol niy. Dan saya tiba-tiba terlihat seperti ibu yang mengisolasi anaknya. Habis gimana dong, di lorong tempat kami tinggal tidak ada yang punya anak kecil. Mau main ke tempat temannya ada di tower sebelah, yang artinya harus janjian dulu. Dan kebetulan orangtuanya baru ngurus anak kedua jadi yah ga enak sebenarnya menambah kerepotan. Kalaupun main di taman, entah kenapa pilihan waktunya selalu pas taman sedang sepi. Jadi yah faktanya, Malika emang cuma main sama Safir. Tapi emang itu ga cukup?

"Safir itu bukan temanku. Dia adikku. Safir kan tinggal di rumah aku. Kalau teman itu yang tinggal di rumah lain." begitu protesnya suatu kali saya hendak memisahkan dia dan temannya yang tak sengaja bertemu di taman.

Ya baiklah ratu cerewet, sepertinya kamu memang suka sekolah. Tapi sekolah main. Memang tepatnya saya bergabung di komunitas tertentu supaya anak-anak bisa bersosialisasi. Melakukan hubungan riil dengan orang lain. Eh tapi datang bulan puasa, semua klub kegiatan anak mungkin jadi berkurang. Sabar deh ya ... Sebulan lagi deeeh. Self reminder buat diri sendiri supaya lebih giat cari komunitas. Sementara itu, saya bikin daftar korban kunjungan. Cari tempat teman atau kerabat yang punya anak dan bisa dikunjungi di hari kerja. Baru satu sih, maklumlah kalau puasa itu Amy harus reschedule banyak hal (jadwal masak n ngantuk juga berubah) realisasi schedule main anak masuk prioritas ketiga. Akibatnya mereka jadi makin susah tidur dan makin aneh-aneh mainnya.

Saat beberapa hari lalu ketemu temannya lagi, saya traktirlah main di mal. Ga papa lah, asal jangan tiap hari. Bangkrut.

Akhir pekan lalu, karena kebetulan ayahnya ada pekerjaan tambahan di hari Sabtu, saya bisa mengunjungi salah satu teman saya. Oh, Malika senang banget. Ngoceh melulu sepanjang perjalanan naik kereta dan angkot. Dan kalimat yang terus dia ucapkan dari berangkat hingga pulang adalah, "Malika ga nyebelin, jadi Amy ga marah." "Kok Amy bisa ganti-ganti gitu ya? Bisa marah. Bisa baik." "kalau Malika ga nyebelin, Amy jadi baik deh."

Ok deh, kenapa gue terdengar buruk gitu ya reputasinya. Hadoooh. Anyway, masih ada setahun lagi yang harus saya jalani sendirian. Mudah-mudahan Amynya bisa terus semakin baik.

Kamis, 03 Juli 2014

My Story: Hidup dan Kantung Plastik

"Terima kasih ya, bu." begitu kata kasir di supermarket satu-satunya di Kalibata City saat saya menyodorkan plastik berlogo serupa hanya saja sudah saya lipat segitiga ala Jepang.

Saya malah bingung, "kenapa?"
"Soalnya yang ada orang malah minta kantung plastik lebih untuk kantung sampah."
Saya tersenyum saja mendengarnya. Kadang bingung kok bisa ya kekurangan kantung sampah. Saya membiarkan diri menggunakan kantung plastik selama seminggu saja, rasanya lama betul menghabiskannya. Paling satu atau dua kantung plastik setiap hari.

Jarang menggunakan kantung plastik memang merupakan komitmen saya selama bertahun-tahun. Maunya siy tidak sama sekali. Namun, saya sering titip beli sayur ke Hery dan sering pula lupa memberikan kantung plastik/belanja untuk dia bawa. Jadilah saya masih menumpuk kantung plastik. Toh, masih perlu untuk pelapis tempat sampah saya, secara tinggal di rusun ga bisa buat lubang biopori hehehee.

Ada masanya saya ketiban banyak sekali kantung plastik dan merasa bersalah karenanya. Lalu kemudian saya mendapat jalan keluar. Tukang sayur langganan saya bertanya apakah saya punya ekstra kantung plastik. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Jadilah saya telaten mengumpulkan keliman kantung plastik saya untuk diberikan ke tukang sayur itu.

Salah satu cara mengurangi penggunaan plastik adalah belanja bulanan. Belanja di akhir-akhir bulan justru membuat saya lebih banyak menggunakan plastik. Beli sedikit-sedikit tapi sering tapi ga pernah bawa plastik sendiri. Akhirnya numpuk deh. Tapi sekarang ga terlalu merasa bersalah lagi karena setiap kali lupa, selalu ada solusi agar si kantung plastik bisa lebih berguna. Sejatinya kita memang ga perlu sering-sering ingat kalau bukan tipe shopacholic kaya aku. Ke mana-mana bawa makanan dan minuman sendiri. Ga sebentar-sebentar jajan. Kemasan jajan itu bikin tempat sampah cepat penuh. Again, memang perlu latihan sih. Si Hery juga ga bisa hidup begini kalau ga disodorin kantung langsung. Keluarga saya di rumah juga ada yang merasa aku terlalu pelit atau aneh karena menolak banyak-banyak menggunakan kantung plastik. Jadi ingat kerutan di dahi mama saat saya memutuskan tidak membungkus kartu undangan pernikahan saya dengan amplop plastik. Tapi ya ga apa-apalah, tiap orang mudah-mudahan punya cara green-nya sendiri.

So, hidup dengan less plastic bag? No probs.

Amy's Story: senyum dong, Amy

Hehehe, saya memang orang yang jarang senyum. Muka biasa aja. Ga terlalu mudah tertawa saat lihat sitkom atau stand up comedy. Makanya banyak orang mengira saya jutek di awal perjumpaan. Yah, didukung kontur muka juga sih. 

Sejak anak-anak semakin lincah, saya juga merasa rahang saya semakin kencang. Paling terasa sih ketika bawa mereka keluar. Walau hanya di area Kalibata City, mengajarkan tata cara sekaligus mengamankan anak-anak saat jalan kaki di jalanan itu seperti menggembala kambing-kambing lemot. Yah, kaya Bitzerlah, si anjing penggembalanya Shaun the Sheep. Kudu galak. Sharp.

Muka nyaris militer ini juga saya gunakan saat mengawasi bermain. Saya memang sengaja tidak mengambil jarak terlalu dekat untuk mengamankan anak-anak, karena saya punya lebih dari satu. Mereka bisa bermain di ujung yang saling berjauhan. Nah, oleh sebab itu suara perut dan muka militerlah yang jadi andalan saya memberi peringatan.

Rupanya, saya jadi terlalu sering menggunakannya.

Ketika anak-anak usai nonton Monster University dari dvd, seperti biasa mereka reka ulang adegan favorit. Untuk film yang satu ini, mereka suka adegan ketika si monster berjingkat ke kamar tidur simulasi mencoba menakuti robot anak kecil. Awalnya masih dengan karakter asli. Mereka jadi monster, Amy jadi robot anak kecil yang teriak ketakutan. Lalu kemudian mereka modifikasi. Karakter robot diubah menjadi teriak marah atau galak. Ketawa sambil kaburlah mereka. Setelah beberapa kali, mereka minta diganti jadi robot baik. Saya pun menanggapinya dengan menjadi robot yang tertawa terbahak-bahak. Eh begitu saya tertawa, Safir menubruk saya sambil cium-cium, "Adek suka robot baik." dan setelah itu diulang lagi dan dicium lagi. Terus begitu.

Saya pikir ini emang Safirnya aja yang jadi sering cium-cium pascasapih. Lalu ketika saya perhatikan lagi adalah sepertinya dia lebih suka lihat Amynya tertawa.

Atau ketika di kesempatan lain, saya sedang tidak mood main sehingga tidak punya toleransi untuk main asal-asalan. Saya pun memisahkan diri ke kamar. Setelah beberapa saat dikunci, saya buka dan Malika masuk menunjukkan wajah tersenyum yang dia gambar di kotak tersenyum. Saya hanya mengangkat secuil bibir atas saat itu dan kembali bersikap acuh, tidur-tiduran sambil beresin file di hp. Safir datang sambil tiban-tiban dan cium-cium, pegang-pegang bibir. "Iiiih, apaan sih, Dek."
"Adek, cuka Amy." katanya sambil terus gusel-gusel. Amynya masih acuh.
"Aku kan sudah buatin gambar senyum. Jangan marah lagi dong ... " kata Malika.
 Ini yang anak kecil siapa ya?

Yah, jadi Amy memang harus selalu ingat senyum dan tertawa. Lagian kasihan juga ya anak-anak, ga ada pilihan selain lihatin Amynya yang mood swing.

Aku akan berusaha, Naks. Fighting!!!!

Rabu, 02 Juli 2014

REVIEW: Dunia Ayah Dunia Papomics




A good husband is a good dad.
Belum diputuskan apakah kutipan di atas sejalan dengan yang akan dituliskan =P
Minggu lalu akhirnya membulatkna tekad jalan kaki 400 m dr Kalibata City ke Plaza Kalibata. Yah, secara peta memang bersebelahan, apalagi tower tempatku tinggal memang yang persis di sebelahnya. Namun, kami dipisahkan oleh rel kereta api dan lahan parkir, sehingga segitulah jarak yang ditempuh. Bukan perjalanan mudah karena sambil meninggalkan anak-anak dengan ayahnya yang artinya tidak bisa lama-lama dan belum lagi keadaan jalanan di luar Kalcit plus simpangan kereta adalah tanda di mana motor berkeliaran tidak tentu arah.

Tujuan besar saya adalah Gramedia. Eh? Emangnya ga ada toko buku di Kalcit? Ada sih, tapi kok tokonya kaya orang mau tutup usaha ya? Ga update. Ya terpaksalah saya ke Gramedia, yang godaan bukunya cukup besar hehehe. Saya ingin beli buku komik kompilasi Papomics dan Mamomics. Mamomics ini lebih dulu keluar. Dari judulnya yang tentang para jagoan komik ketika jadi ibu-ibu. Sudah lama saya menangguhkan membelinya eh rupanya keluar temannya, Papomics. Kali ini saya menjalani hari-hari penuh rasa tidak enak karena belum juga membelinya. Segitunya? Iya. Soalnya di Papomics ada karya abang saya, Muhammad Nurul Islam. Papomics sendiri merupakan kompilasi empat komikus jantan, Harris, Harry Martawijaya dan Oyasujiwo. Dan  satu cara mendukung karya ini ya dengan membelinya. Beli loh ya, bukan pinjem, minta, apalagi fotokopi.

Karya abangku ini juga bukannya belum pernah aku lihat. Kebanyakan komiknya sudah dipublis di multiply. Yang menarik bagiku adalah prosesnya, seperti biasa. Komik ini dibuat oleh Roel saat memulai perantauannya di Luton, Inggris. Dalam rangka mendukung sang istri kuliah s2 jadilah si Roel ini meninggalkan karier profesionalnya sebagai nonkomikus dan pindah bersama bayi perempuan berusia 9 bulan, Khansa. Kondisi perekonomian Eropa saat itu sedang terpuruk sehingga sulitlah bagi Roel mencari pekerjaan. Ditambah daycare di sana tidak menerima anak di bawah dua tahun. Beda ya sama di sini, bisa terima dari umur 1 bulan. Jadi jobless dan harus berhadapan sama anak bayi di negeri orang, tentu sebuah adaptasi yang besar. Sedangkan untuk mengaplikasi sebagai ilustrator harus bersertifikat. Oleh sebab itu, sementara mengais kesempatan dan untuk menjaga pikirannya tetap waras, dia pun menyempatkan diri untuk membuat komik. Ngomik memang sudah menjadi bagian dari dirinya sejak kecil. Pernah mengisi kolom komik di Annida yang merupakan hasil iseng-iseng mengomikkan cerbung karya Helvy Tiana Rosa. Saya ingat waktu pertama kali mendengar kabar itu dari abang-abang saya. Tapi nanti ya ceritanya ...

Abang saya ini bukan orang yang suka bermain secara fisik, jadi saya sudah bayangkan bahwa dia akan banyak berkomunikasi dengan anaknya lewat gambar. Pasti lah dia mengalami masa-masa 'dianiaya' anak disuruh gambar ini itu. Ini tertuang dalam judul 'Anda Meminta Kami Menggambar'. Kisah Roel dan Khansa ini kalau dilihat dari kacamata dosen saya dulu, Pak Marahimin, bisa jadi sangat bagus karena memuat satu hal yang beliau sukai. Latar belakang. Perantauannya menjadi hal yang menarik di Papomics. Saya paling suka ilustrasinya tentang 'Rhyme Time'. Saat dulu diceritakan, saya terpikirnya sebuah kelas yang gimana gitu. Yah, mungkin karena yang cerita tukang gambar jadi ga valid ceritanya. Namun, di Papomics, saya bahkan jadi ingin membuat sudut rhyme time di Kalibata City. Hal sederhana, tidak perlu banyak peserta, tidak perlu bayar ... (cita-cita tinggi dari ibu-ibu yang galak).

Eh tapi ga adil dong ya cuma ngomongin abangku, kebetulan ada satu teman Roel yang saya kenal, namanya Haris Nurfadhilah. Dia membuka Papomics dengan gambaran ayah pada umumnya. Pergi gelap pulang gelap. Banyak lembur. Sedangkan dia sendiri memiliki dua bocah lelaki yang menunggu di rumah. Bukanlah hal baru lagi bahwa seorang ayah sejatinya tetap harus meluangkan waktu bermain dengan anaknya setidaknya 20 menit sehari. Itu kalau mau anak laki-lakinya jadi lelaki sejati. Ga mungkin semua belajar dari ibunya.

Lucu juga, mengingat konon si Harris ini sangat sibuk tetapi masih meluangkan waktu membuat komik tentang anaknya. I guess, ekspresi cinta memang harus terus diungkapkan. Toh, goresan cinta ayah ini menjadi kenangan manisnya setiap kali teringat anak lelaki keduanya yang kembali ke pelukan rahmatullah. Love in the hand of illustrators is begin from a scratch.

Lainlagi dengan Harry Martawijaya. Hampir mirip dengan abangku yang jadi full time dad, Harry ini bekerja dari rumah. Walau mati gaya saat harus ambil rapor yang isinya ibu-ibu semua atau kemudian dimafaatkan anak-anak sebagai kreator untuk berbagai kostum acara sekolah. Toh, butuh kekuatan super juga ketika 'Mama Pergi'. Namun, dia patut bangga pada dirinya yang tak pernah absen mengantar anak-anaknya, berada di rumah saat anak-anak tiba dari sekolah, dan tidak pernah ketinggalan segala rapat sekolah. Terdengar seperti ideal, tapi ada banyak kerja keras di belakangnya.

Lain lagi Oyasujiwo. Ilustrasinya menghiasi sampul depan Papomics. Di sini saya diumbar sebuah keriuhan keluarga beranak ... Empat. Dengan nama-nama yang unik. Ini ibarat keluarga Hoed versi komikus. Kalau baca deskripsinya mungkin banyak yang istigfar karena terkesan liar tapi saya juga mengalaminya dan merasa rada tenang membacanya. Saya rasa keluarga ini termasuk keluarga kreatif nan ceria, butuh banyak belajar kayanya sama mereka. Maklum, saya mungkin bisa main ekstrem dengan anak-anak tapi seketika emosi saya jadi drop dan kemudian merusak endingnya. Eh, curcol.

Anyway, ga rugilah bacanya. Mungkin para ibu jadi kepingin punya suami kaya mereka. Suami yang ga diem-diem saja di rumah. Yah, walau ga bantuin nyapu tapi setidaknya main sama anaknya. Main beneran loh ya, bukan mainan tablet. Karena pada saat-saat seperti itulah suatu hubungan anak dan ayah terjalin.

Kesulitan mencarinya? Hubungi saya saja, akan segera dikirim ke alamat anda hehehe .... (maklum abang saya kan jauh, ga bisa jualan langsung di sini)