Selasa, 02 September 2014

KEPO: Perlu Ga, Sih?




Satu hal yang saya perlukan sebelum bertemu teman lama adalah KEPO. Awalnya saya tidak peduli, tapi kemudian saya kok jadi sering bring out a topic on a wrong table. Sering pula baru sadar ketika sudah ketemu faktanya.

Seperti wartawan infotainmen, setiap hari selalu ada pertanyaan lanjutan. Waktu kelar kuliah, pertanyannya gawe di mana? Setelah itu berlanjut, status apa? Single? Double? Triple?

Begitu semua sudah diketahui menikah, kayanya yang perlu diam-diam diketahui, masih nikah ga?

Nah, ga mungkin dong tanya langsung ke orangnya.

Pernah suatu kali saya bertemu teman SD (cewek), lalu pembicaraan kami ngalor ngidul membicarakan teman-teman SD yang lain. Begitu tercetus satu nama temen cowok yang tinggal di luar negeri dan katanya beberapa kali bertemu, saya lempeng saja. Setahu saya si temen cowok ini sudah menikah memang. Jadilah saya tanya, “si anu sudah punya anak blum?” Teman saya itu menggeleng. Eh rupanya beberapa bulan kemudian saya dapat undangan dari mereka berdua. Oalah rupanya teman saya yang tinggal di luar negeri itu sudah lama bercerai dan akhirnya malah nyangkut sama teman saya yang cewek itu.

Atau ada lagi keadaan canggung. Melihat teman saya yang diketahui sudah menikah datang bareng teman saya yang cowo ketika buka puasa bersama. Saya juga lempeng aja, toh kami memang akrab kalau berteman. Apalagi kalau masih teman sekolah (sebelum kuliah), pasti tinggalnya tidak jauh satu sama lain. Eh rupanya teman saya yang cewek itu sudah cerai juga dan lagi ‘dekat’ sama teman saya yang cowo—walau akhirnya ga jadi sih.

Atau ketika kita rajin nengokin FB. Suka ada pertanyaan, “perasaan kemarin unggah foto honeymoon sama orang yang begini-begini, eh tapi kok pas ketemu yang digandeng dan dikenalin kok beda ya?” Nah, loh.

Apalagi kalau punya penyakit hapal nama ga hapal orang, jeeeng! Bisa kejadian tuh sebut nama mantan pacar tahunan di depan suami yang sekarang. Haiyah.

Namun, ngulik-ngulik profl FB teman sebelum ketemu juga suka menimbulkan pertanyaan lain. Nah ini rada gosip karena suka nyentil SARA. Pertanyaan iseng “orang mana?” bisa merembet ke “agamanya apa?”. Nah yang terakhir ini biasanya saya tanya kalau emang mencurigai sesuatu. Bukannya mau diskriminasi, Cuma nanti kan ga enak kalau lagi ketemu saya ajak-ajak shalat terus orangnya ga mau karena emang beda kan jadi aneh. Belum kalau saya lagi keluar cerewetnya tiba-tiba ceramah pentingnya shalat berjamaah.

Ada pula pertanyaan yang maksudnya basa basi malah jadi bahan gosip. Misalnya ketika bertemu kenalan dengan anaknya untuk pertama kali, apa coba pertanyaan yang biasa muncul? “Mirip siapa ya?”

Ini kan pertanyaan iseng. Tapi bisa loh jadi bisik-bisik karena rupanya bukan anak kandung. Kalau di luar negeri mah biasa. Di sini? Padahal saya salut loh sama yang asuh anak.

Tapi kalau dalam kehidupan bertetangga, saya pikir perlu loh kepo. Apalagi saya yang tinggal di apartemen. Orang-orang yang tinggal di sini kan kadung berpikiran bahwa apartemen adalah area privat, padahal kenyataannya, kita hanya terpisah oleh dinding. Jadi ketika ada yang bertengkar, pasti terdengar. Dan bersikap acuh tak acuh malah bahaya. Siapa bilang karena yang bertengkar suami istri, kita ga boleh lerai atas nama urusan pribadi. Siapa yang tahu kalau ada kekerasan dalam rumah tangga? Makanya jika terdengar pertengkaran , terkadang saya pasang k uping. Ada yang pecah ga? Ada raungan kesakitan ga?

Kalau tidak berani ketok sendiri, telepon satpam. Menghindari hal-hal buruk. Kalau sudah bertengkar kan sahabatan sama setan, mana tahu ditutup matanya.

Saya malah pengen ada yang ketokin pintu kalau lagi cerewet banget sama anak. Biar ingat diri.

Well, anyway masih trial and error soal kepo ini. Terkadang memang suka lupa menahan diri ketika tahu salah teman bercerai, masih tanya lagi, “kenapa?”

Nah yang itu dah gosip deh.