Rabu, 26 November 2014

Amy's Story: Dan Safir berkata, "aku mau jadi cewe!"

Pada suatu hari, Malika menemukan bando miliknya yang sudah lama tidak kelihatan. Melihat itu, Safir langsung mendekati kakaknya dan memaksa kemudian merengek ingin meminjam.
"Jangan dek, ini punya cewe." jawab si kakak.
"Nanti adek udah gede baru boleh pake itu?" sahut Safir.
"Ya ga lah de, kan adek tetap jadi cowok." balas saya.
"aaah, adek kan mau jadi cewek," jawab Safir bersikukuh dan kemudian merengek.

Mengalami adegan itu plus saat itu sedang ramai-ramainya berita transgender, saya jadi teringat episode-episode di Oprah Show. "Apakah Safir sedang berada di usia ketika dia memertanyakan kelaminnya?" ngeri-ngeri gimana gitu ketika membayangkan pertanyaannya. Maklum di banyak wawancara Oprah, kebanyakan LGBT merasa sudah berbeda di usia 4 tahun. Nah rada miriplah dengan Safir yang tiga tahun.

Belun lagi, Safir ini berparas perempuan dengam bulu mata lentiknya. Dan tak jarang dia ikut memegang mainan awal kakaknya yang serba pink dan hellokitty. Namun karena ayahnya parno, kami mulai membelikan mainan netral. Biar bisa dimainkan bersama. Dan melihat Safir yang mulai suka superhero, harusnya sih lebih kelihatan cowo. Kecuali tentu saja ketika dia memilih menjadi princess Anna karena ingin memainkan adegan "do you want to build a snowman". Kakak Malika jadi queen Elsa, adiknya ya jadi adeknya Elsa lah. Begitu kira-kira. Yah daripada kakaknya jadi Anna, Safir jadi Kristoff, jadi ciuman mereka. Hadoooh ...

Lalu adegan seperti ini berulang lagi. Kali ini objeknya bandana. Dan ada ayahnya turut menyaksikan.
"manusia itu kalau dilahirkan cowo ya cowo terus sampai tua," kata saya mencoba memberi pandangan.
"gak, adek mau jadi cewe kalau sudah gede!" kakinya dihentak-hentak.
"ya, ga boleh, de," jawab kami mulai putus asa.
"adek kan mau jadi kakak!"
Tiba-tiba seperti tanpa sengaja menemukan pasangan puzzle yang pas.

Sejak positif dinyatakan hamil lagi, saya memang sudah sejak awal memberi tahu Safir bahwa dia akan punya adik.
"wah safir sebentar lagi mau jadi kakak."
Safir menolak.
"ga mau. Safir mau jadi adek."
Lalu kami ganti.
"wah bentar lagi dipanggil abang Safir dong."
"ga mau, maunya dipanggil adek Safir aja!"

Saya rasa Safir agak bingung dengan konsep kakak-adik ini. Dia mungkin bertanya-tanya kok bisa ganti-ganti dari adik jadi kakak. Mungkin. Makanya dia menolak.

Nah pernyataan Safir itulah yang mengingatkan saya akan hal ini. Jangan-jangan dia pikir menjadi kakak itu berarti menjadi seperti kakak Malika termasuk gendernya.

"ya ampun de, jadi kakak itu bukannya jadi cewe. Itu loh jadi mamas. Kaya mamas Aldi, mamas Dipta..." saya menyebutkan nama para sepupunya. "mereka kan tetap cowo."

"adek ga mau dipanggil mamas!"
"ya udah deh, abang."
"ga mau!"
"kalau uda?"
"udah? Udahan? Udah ngapain?"

Jiaaah ....

Selasa, 25 November 2014

Membaca Iklan di Singapura

Ini sedikit oleh-oleh dari kunjungan singkat saya ke Singapura beberapa bulan lalu. Cuma dikiiiit ... Soalnya memang ga pergi ke banyak tempat.
Sebenarnya kebiasaan membaca iklan atau himbauan ini suka saya lakukan kalau pergi ke mana pun. Hanya saja karena tujuannya domestik jadi saya sering terkendala bahasa, alias bahasa daerah. Nah kalau di Singapura kan pakai bahasa Inggris jadi masih bisa dimengerti lah. Himbauan-himbauan semacam ini bagi saya seperti memberi informasi lebih terkait situasi kondisi masyarakat di sana.
Kali ini saya hanya bicarakan soal iklan atau himbauan yang terletak di sekitar MRT atau Singapore Indoor Stadium, yah soalnya cuma di situ-situ aja siy saya hehehe ... Sayangnya, insting reporter saya masih kurang, jadi tidak satu pun yang sempat saya foto.


1. Help Them to Get There
Ini adalah sebagian kalimat dari iklan layanan masyarakat yang tertempel di atap MRT. Subjek utamanya adalah terkait para penderita cuci darah. Biasanya penderita cuci darah ini harus menyandang status ini hingga akhir hayat, sehingga bisa dibayangkan berapa kali dalam sebulan mereka harus ke klinik cuci darah. Nah, iklan layanan ini adalah himbauan memberikan bantuan materiil atau nonmateriil agar mereka tidak terbebani.

hmm ... Ga tahu ya, mungkin di sana juga semua sudah ditanggung asuransi, kecuali ya ongkos =) Sedangkan di Indonesia sendiri kayanya baru agak lega sejak BPJS, biaya cuci darah ditanggung. Belum sampai ke detail. Seperti yang pernah saya dengar dari saudara bahwa oleh karena proses cuci darah yang membutuhkan waktu berjam-jam, para pengantar dilanda kejenuhan sehingga kemudian menciptakan kesibukan bersama.


2. Put Down Your Bag, So There are More Room for Others
Saya lihat stiker ini ketika kebetulan masuk gerbong MRT yang khusus orang berdiri semua alias ga ada bangkunya. Saya jadi teringat julukan seorang petinggi perusahaan pada manusia beransel alias dinosaurus modern. Yang paling berasa kalau di lift, sedangkan di kereta kita orang cenderung menaruh ransel ke dada demi keamanan.

Nah kalau di Singapura malah disuruh taruh di bawah. Ya wajar, di sana orang berdiri sesuai jalur pegangannya. Ga bisa dibandingkan dengan CL kita yang bisa tiba-tiba berada di tengah-tengah gerbong tanpa tahu harus berpegangan ke mana.


3. Put Your Tray Back
Label ini tertempel di meja tempat saya makan di foodcourt mal di seberang SIS. Jadi, habis makan taruh lagi baki beserta isinya ke station khusus untuk itu.

Hmm entah karena foodcourtnya kecil atau apa, tapi himbauan ini cukup efektif sehingga para pelayan cukup berjaga di sudut yang cukup besar. Jarang deh lihat tumpukan sisa piring minta diambil dari meja. Jadi ga jorok juga kelihatannya.

Dan sudut khususnya pun sudah dipisah antara baki halal dan nonhalal. Coba tuh. Ah, kita kapan yak?


4. Stand Up Lucy
Sebenarnya pakai hastag tapi saya ragu benar atau tidak tulisannya. Saya tidak sempat baca dengan saksama karena baru terlihat saat hendak turun dari MRT. kayanya sih berkaitan dengan gender, alias ajakan bagi para wanita agar mau memberikan tempat duduk pada kaum prioritas.

Yang anak kereta or transjakarta pasti tahu dong, persaingan tempat duduk di bagian khusus wanita itu cukup sengit karena semua merasa paling berhak. Sering mereka lupa, bahwa menjadi wanita ga berarti jadi prioritas (itu hanya berlaku buat cowo) apalagi difabel. Di bagian ini memang diuji sangat siapa yang paling gentle(wo)man.


5. Watch Your Step
Ini ada lagi sambungannya, lupa. Ini himbauan bagi para pengguna gadget dan headphone agar lebih peka pada sekitar biar ga tabrakan. Oleh karena sistem MRT yang sudah demikian teratur sehingga bagi pengguna rutin tentu sudah hapal jalannya, makanya sering abai.

Kalau di Jakarta bisa dilihat di area perkantoran atau mal, kalau di jalan raya masih belum berani, ntar tahu-tahu disamber motor yang lawan arah lewat trotoar (duh).

Saya saja suka gemas sama mereka yang sudah sibuk sama gadget dari sebelum masuk lift sampai keluar. Main keluar aja, ga lihat ada ibu-ibu bawa stroller di barisan paling belakang dan kemudian harus buru-buru hold pintu lift dengan tangan gurita agar bisa keluar.

Yah semacam itulah. Dari sedikit yang saya lihat, setidaknya topik himbauan ini rada move on dari di Jakarta yang dari tahun ke tahun isinya 'jangan buang sampah sembarangan' ^^' Soal tingkat kepatuhan, hmm ga tahu ya. Kurang lama di sananya hehehe ...

Kalau ada salah-salah kata mohon dimaafkan, memang harusnya difoto, mianhae ^.^ Yang mau memberi info lebih terkait himbauan ini silahkan, saya juga cuma laporan pandangan mata, ga pakai investigasi hehehe ...
Permisiii ....

Senin, 24 November 2014

Ketika si Kidal Terkunci di Kamar Mandi

Suatu hari Safir tengah dimandikan Amy, tapi kemudian dia lebih banyak rewelnya sehingga menghambat mandinya. Akhirnya, Amy tinggalkan di kamar mandi agar dia bisa terserah melakukan apa saja yang dari tadi dia ributkan. Pintu ditutup supaya ga becek-becek keluar. Eh, si bocah malah tambah rewel, berusaha membuka pintu tapi gagal dan akhirnya terkunci.

Kenop kamar mandi kami yang bulat dan tidak pernah ada kuncinya sejak awal kami serah terima. Kalau terkunci dari dalam sebenarnya ga masalah kalau ada orang, tapi kalau Safir yang di dalam kayanya sama juga bohong. Biasanya saya gunakan obeng untuk membuka pintu yang terkunci dari dalam, tetapi kali ini taktik tersebut tidak berhasil. Kunciannya dol.
Sudah keringetan, Safir di dalam yang tadinya gedor-gedor dengan semangat pun kini hanya terdengar tangis pelan-pelan. Saya menyerah dan akhirnya memanggil teknisi ke customer service.

Butuh beberapa saat juga bagi teknisi itu untuk membuka pintunya. Dan ketika terbuka, Safir sudah duduk sedih di kloset.

Usai kejadian tersebut, saya bertanya-tanya sendiri kenapa Safir sulit sekali membuka pintu kamar mandi. Padahal kamar yang lain juga menggunakan kenop bulat dan ketinggiannya pun sama, apa yang membedakan?

Setelah beberapa kali ujicoba, saya akhirnya mengerti. Sesuatu yang sudah lama saya pindahkan dari otak sadar saya, kenop di kamar mandi memiliki perputaran berbeda untuk membuka dan menutup ketimbang kenop di kamar lain. Penting, ya? Buat para kidal ini penting. Tidak ada buku panduannya, tetapi kami mengalami banyak sekali penyesuaian untuk bisa hidup di dunia 'kadal' ini.

Safir memang punya kecenderungan kidal. Saat mewarnai, dia pernah sesekali menggunakan tangan kanan tetapi kemudian cepat lelah. Dan di usianya yang tiga tahun, konsep ruang masih menjadi pe-er baginya. Sehingga wajarlah untuk mampu membuka pintu kamar mandi sepertinya dia masih harus berusaha lebih keras lagi.

Para kidal memang memiliki konsep atau definisi soal ruang dan arah. Titik kemiringan kami berbeda, sudut pandang kami berbeda. Kami lebih suka keluar lift dari arah kanan dan masuk dari arah kiri. Kami lebih suka berputar berlawanan arah jarum jam, dsb. Ini jika kami membiarkan otak bawah sadar kami yang bekerja. Jangan tanya soal mouse komputer, kursi kuliah, atau sekadar memilih ujung bangku sekolah jika berbagi meja kala SD. Tapi seringkali, kami harus menyesuaikan. Yah mau bagaimana lagi =P.


Yah dan sepertinya Safir baru mengalami beberapa hal baru ini. Bertahanlah, nak, kita pasti bisa =D

My Story: Sendirian, Semalam, di Singapura #2


THE CONCERT, BABY ....

Ketika Ditta datang, VIP mode on. Baru deh kelakuan diatur sesuai pengunjung konser hahaha ... Ngantri di stan samsung, rela dengerin tiga info produk demi pin-pin member YG Family. Berfoto dengan latar poster konser itu hingga akhirnya mengantri masuk.

Ketika mengantri, saya baru sadar. Saya sudah kadung beli banyak snack untuk sekadar oleh-oleh buat anak-anak, karena tahu ga bakal bisa ke mana-mana. Lha, di konser kan ga boleh bawa makanan. Akhirnya saya bongkar tas saya, masukkan kantung besar snak di bagian dasar lalu sumpal dengan baju n bantal travelingku. Begitu dibuka, keamanannya dah males lihat bantal pink itu hehehe...

Sayang saya dan Ditta juga satu temannya berbeda lokasi nonton. Saat terpisah, saya menyempatkan selfie di salah satu balkon yang menghadap panggung. Saya agak malu-malu ketika ada yang menawarkan diri membantu selfie padahal bukan panitia juga. Kasihan kali lihat betapa jadulnya niy hp ga bisa mirror hehehe ....

Sebenarnya dari posisi, mungkin posisi saya paling sial. Lantai tiga di baris terakhir. Itu ujung banget. Dibanding dua tahun lalu, posisi sekarang itu berpuluh-puluh kali jauhnya. Tapi itulah yang terbaik, terlebih waktu itu saya belum tahu sedang hamil, kan. Jadi ini aman juga nyaman. Saat konser dimulai saya menggabungkan pandangan 4 meter dua tahun yang lalu dengan euforia yang saya rasakan di balkon teratas itu.

Serius deh, dua tahun lalu itu saya kaya salah mau joged karena semua orang berebut merekam. Di atas sana, puas-puasin deh joged, istirahat pada grup-grup atau lagu tertentu-inget perut, tapi ga pernah diam kalau Bigbang muncul. Kebetulan saya punya tetangga yang keren. Orang di sebelah saya juga ga berhenti joged dan turut bernyanyi sekeras mungkin. Dia keren banget.

Dan selagi konser itu saya sempat-sempatnya garuk-garuk kepala saat beristirahat dan melihat penonton di depan saya merekam konser tersebut. Itu mah biasa. Yang ga biasa adalah dia langsung share ke youtube. Oh my God, secepat apaan siy internet di sini? Gue unggah video nyanyi di warnet aja kudu tunggu 15 menit. Lha dia dari handphone! Pantaslah banyak yang sutris pas balik ke Jakarta kalau habis tinggal di luar negeri.

Konser itu sendiri? What can i say? Bisa lihat Bigbang plus 2Ne1 plus Psy plus Epic High plus Winner itu dah menu banyak buat saya. Pokoknya closure yang tepatlah. Sesuai judulnya, Family Concert, saya terharu dengan cara setiap grup berkolaborasi atau menyanyikan single grup lain tanpa kehilangan greget. 2Ne1 ga Cuma bikin yang cowo-cowo keringetan tapi juga penonton cewe. Energik binti seksi. Angkat jempol buat Psy yang walau hanya dua lagu yang kita kenal, dia tetap cool n confident, bahkan aksi para dancernya yang paling keren. Inilah namanya entertainer.  Tentu saja saya paling ngakak ketika Bigbang nyaris memarodikan lagu 2Ne1. Serius tapi ga serius. Suara TOP ga ada sumbang-sumbangnya padahal I mean itu TOP kok ya joged gemulai gitu tapi ga asal-asalan. Formasi Bigbang ini sebenarnya ga lengkap karena di malam seharusnya pergi ke Singapura, Seungri mengalami kecelakaan mobil usai menghadiri acara. Inilah risiko jadwal padat n ga pakai sopir. Ada-ada aja dah, untung bukan bias gue. Karena mepet waktunya, jadi bagian nyanyinya digantikan bergantian oleh Taeyang dan Daesung, atau kadang dibiarkan saja. Saya pikir ga ada bedanya tanpa Seungri, tapi ternyata  berasa juga. Aih jadi kasihan, mana jadi tersangka lagi.

Walau Cuma dari bigscreen, I was happy.  Tiga jam konser ga beranjak sama sekali saya dari bangku. Dan yang lebih menyenangkan lagi adalah ketika ada teman untuk berbagi cerita konser yang terjadi barusan. Konser pertama dan kedua saling melengkapi menurutku. Dan saya bersyukur bisa mengalaminya. walau kalau ditengok dari usia rada telat hehehe.

Ada untungnya juga saya bareng Ditta, karena jadi punya pengalaman nungguin para performer itu keluar dari gedung di pintu belakang. Maklum dia stalker. Cuma karena bawa buntut jadi rada ga sukses stalkingnya hehehe maaaaaf ....  Awalnya grup Winner yang lewat, trus 2Ne1, baru kemudian Bigbang. Kelihatan sih, yang senior diantarnya pakai sedan mewah. Yang junior pakai van. Tapi vannya juga mewah sih. Ada sedih tapi gimana gitu ketika melambaikan tangan pada mobil yang diisi TOP. Pengennya sih lari-lari gebukin mobilnya sambil teriak, “this is your baby!!!” ah tapi ga usahlah ya. Ntar yang di rumah gimana dong?


MALAM DI SINGAPURA

Saya memang akhirnya memutuskan mengikuti ke mana Ditta dan temannya pergi karena saya batal bertemu teman SMU saya yang memang menetap di Singapura. Awalnya ingin mampir ke Gardens by the Bay di dekat Marina Bay tapi ketika mampir di Clarke Quay untuk mengambil tas teman-teman saya itu di sebuah penginapan, kami menghabiskan waktu lebih lama karena mereka lupa jalannya, hahahaha ...

Senangnya jadi blogger adalah ketika terjadi sesuatu yang tidak sesuai rencana otaknya langsung berteriak, yes another story in my blog! Jadi walau langkah saya lebih lambat karena lelah dan lapar dan kaki yang sakit karena sepatu yang salah beli, saya menikmati saja berjalan-jalan di malam Singapura. Kadang teringat daerah Thamrin-Sarinah, lalu teringat daerah Mangga Dua-Kemayoran. Malah walau tertinggal jauh, saya sempatkan berhenti untuk mengambil gambar, setelah itu segera berlari karena angka di lampu merah kian menipis.

Akhirnya ketemuu ... dan kami ikhlaskan tidak ke taman. Langsung ke bandara aja. MRT masih penuh orang saat itu. Makanya tidak disangka-sangka ketika berhenti di Tanah Merah untuk kemudian transit, eh keretanya sudah ga ada. Jiah, dua stasiun lagi. Ya suds, naik taksi. Lumayan dapat pengalaman naik taksi. Taksinya bukan taksi fancy, kaya udah lama, kalau di Jakarta mah dah kena blacklist. Dengan hiasan-hiasan patung di dashboard dan supir dengan rambut putih berkuncir, kami aman tiba di Changi.

Tiba di Changi belum bisa melakukan imigrasi. Tutup. Jadi kami segera mencari tempat makan. Sudah jam setengah satu dan saya belum makan dari jam 3, kebayang laparnya. Ngejogrok lah kami di McD. Makan paket burger seharga SGD5 dan belum sempat otak memberi sinyal kenyang, saya sudah ngantuk luar biasa.

Setelah beberapa lama di sana, bosan melihat para wajib militer berkeliaran bawa senapan gede-gede yang konon bertugas membangunkan orang-orang yang bobok di bangku, kami agak masuk ke dalam, mendekat ke bagian tiket. Rupanya di dalam sana banyak juga yang menginap dan sudah meringkuk di balik bangku-bangku panjang dengan selimut tebal. Mereka lebih pengalaman kayanya.

Saya ga pede kalau harus ke balik bangku, jadi yah di atas bangku panjang itu saja saya sekadar mengistirahatkan mata hingga pukul 4. Saya baru tahu loket tiket dibuka 4 jam sebelum penerbangan. Begitu dapat tiket baru deh bisa merasakan fasilitas yang lebih manusiawi. Pijat gratis sama Lee Min Ho, eh ga deng, Cuma mesin bergambar Lee Min Ho, sarapan di Kleeney dan mengecharge handphone. Kami sudah selangkah lagi menuju pulang. Sedikit demi sedikit menggeser folder memori konser ini ke suatu tempat istimewa yang mungkin akan sangat jarang dibuka.


PULAAANG

Yak saya pulang naik tigerair. Perjalanan pulang terasa singkat. Tak sesingkat kala menunggu Damri arah pasar minggu. Uang Singapura saya tersisa SGD10. Hei I made it! Cuma keluarin SGD50! Wuhuuu ...

Dan pulang dengan menebak tepat bahwa akan menemukan dua bocah yang lagi nonton di jam hampir makan siang tapi belum pada mandi plus cucian piring yang tak berubah tingginya di bak cucian hehehe ... Yuk, marii ....


PS: thank you suami, thank you yaw-yaw, n thank you Ditta :D

My Story: Sendirian, Semalam di Singapura #1


Seperti yang sudah diceritakan di postingan sebelumnya, saya sudah ada rencana menonton konser di Singapura pada 13 September lalu, lebih tepatnya YG Family in Concert. Yoi, perusahaan agensinya Bigbang, 2Ne1, Winner, Akmo, dll. Saya sih tentu saja ingin melihat TOP Bigbang (hohohoh....).

Ini sebenarnya rencana saya dalam rangka menuntaskan fantasi saya terhadap si Choi Seung Hyun alias TOP Bigbang. Sejak tahun lalu sudah berencana ingin menonton konsernya di luar Indonesia. KL adalah rencana awalnya, karena saya ingin bawa anak-anak ke Legoland Johor Baru. Sudah berhitung tetapi gagal menabung. Hingga kemudian terbitlah berita bahwa YG entertainment akan melakukan konser gabungan di Singapura. Ini seperti menepuk 2-3 nyamuk dalam satu tepukan!

Hari itu bulan puasa, iseng saya menghubungi salah satu rekan kerja junior saya di eks kantor. Saya tahu dia termasuk yang korean freak di mata saya. Gayung bersambut. Dan ketika saya kesulitan membeli tiket secara online, dialah yang membantu saya. Bukan tiket dengan harga paling mahal, dua tahun yang lalu saya sudah pernah melihat TOP dari pinggir panggung, jadi mundur sedikit ga apa-apalah, kudu realistis dengan bujet soalnya.

Lucunya, awalnya saya berniat tidak mau memberitahu suami terkait mau nonton konser di Singapura ini. Toh, saya hanya izin semalam, ga pake nginep di hotel. Bukannya ga mau bawa anak-anak, ga mampu bayarnya cuy.

Aih tapi rupanya, kartu kredit saya tidak bisa digunakan karena kodenya dikirim ke nomor handphone saya yang lama. Dan dalam keadaan terburu-buru juga kebelet, saya pun meminjam kartu kredit suami. Ketahuan deeeeeh ....

Walau kabar kehamilan ini agak bikin garuk-garuk kepala terutama karena hanya detik-detik menjelang keberangkatan, saya rasa keputusan ini pun dirasa paling tepat, karena saya tidak akan bisa menengok konser apa pun for the next 2 years! So i guess, saya harus benar-benar menikmatinya.


PERSIAPAN

Oke karena saya hanya sendiri berangkatnya, saya berencana hanya pergi dengan satu tas ransel. Hei, kapan lagi bawa ransel yang isinya bukan baju anak-anak? Saya tidak pergi bareng dengan teman saya yang disebutkan sebelumnya, dia pergi lebih dulu. Saya karena status ibu-ibu beranak dua harus menggunakan jadwal paling lambat pergi, paling awal kembali. Hehehe.

Dan jika terlihat dari paragraf sebelumnya, bisa dipastikan keuangan saya sebenarnya lagi ga bagus. Alias pas-pasan. Toh, saya tutup mata ketika memasukkan uang SGD60 ke dompet. Ya, saya hanya bawa segitu ke negara yang termasuk sebagai negara paling mihil di dunia. SGD10 saya minta dalam bentuk recehan alias SGD2, untuk biaya transportasi. Tapi tenang, suami secara sepihak membekali saya uang sejuta pas. Untuk jaga-jaga. “Daripada kamu nanti tiba-tiba telepon nangis-nangis karena ga punya uang.”

Rasanya ingin saya getok dia, tapi yah ada benarnya juga hehehe....

BERANGKAAAT

Pesawat saya berangkat pukul 9 kurang, tapi saya putuskan keluar dari rumah usai subuh. Menghindari anak-anak bangun yang kemungkinan akan menimbulkan drama. Suami sudah memanggil keponakannya sebagai bala bantuan. Kaos bergambar dua kartu King Queen dengan wajah saya dan TOP pun sudah diprint dan dipakai. (thanks to my big bro yang bersedia melakukan digitalisasinya walau sang istri lagi sakit).


Hari masih gelap begitu keluar Kalibata City. Saya menghentikan mikrolet yang berjalan cepat menuju lampu merah dan di sanalah saya menunggu damri. Saya baru tahu bahwa di jam segitu pun ada orang yang menawarkan tumpangan, yah ga tahu deh ini tawaran baik atau tidak. Toh saya hanya butuh damri. Sekitar 10 menit kemudian, damri itu pun datang dan membawa saya tiba di Soetta terminal 3 dalam waktu 45 menit.

Bandara. Rasanya saya tidak bisa dan tidak boleh berputar haluan. Saya bukan orang yang sering  menggunakan pesawat. Jika dihitung-hitung, saya baru menggunakan pesawat selama 4 kali dalam hidup saya. Jadi saya kurang pede dengan sistematisasi bandara. Maklum, bisa dikatakan saya jarang sekali bepergian jauh sendiri. Ke luar kota yang saya jalani sendiri adalah ke Bandung, itu pun selalu dijemput teman di stasiun. Saya selalu nyasar. Saya mudah melupakan sesuatu. You know, clumsy little sister. Ini seperti pengalaman yang tertulis di buku 30 Paspor (dan kebetulan saya mengedit seri keduanya hehehe). After this, saya benar-benar ingin mengajarkan anak-anak saya untuk berani dan pintar saat bepergian sendiri sedini mungkin.

Oke, hanya ada saya dan print out tiket. Use your eyes and ears, Ati. Saya mengantri tiket, imigrasi dan kemudian akhirnya duduk di ruang tunggu. Fiuuuh .... Saya naik Lion Air saat itu. Usai mendapat kursi yang persis di samping jendela (alhamdulillah), saya pun menunggu. Peringatan untuk mengenakan sabuk karena pesawat akan terbang sudah terdengar. Saya keluarkan sebatang kumpulan sugus untuk menghindari sakit kuping saat pesawat lepas landas dan mendarat. Dan rupanya itu pilihan yang salah. Harusnya saya beli permen karet saja. Untuk lepas landas pun pesawat mengantri, saya sudah kadung mengunyah sugus yang cepat sekali larut di mulut. Entah berapa sugus yang akhirnya saya makan hingga pesawat benar-benar lepas landas.

Sebenarnya saya tidak berhenti khawatir hingga kemudian  saya melihat catatan yang dibuka seorang bocah yang duduk di samping saya. Singapura adalah negara yang disiplin dan teratur. Okehlah, teratur, setidaknya ketika saya tersesat, saya tidak tiba-tiba berada di negeri antah berantah. Toh, saya ada teman yang hendak dikunjungi di Singapura dan tentu my partner in crime si sesama korean freak.


SINGAPURA, AKU DATANG

Yeah, like who care?

Dipijak juga bandara Changi ini. Saya tiba sekitar pukul 11 waktu Singapura. Ada sedikit sedih ketika turun dan melihat penumpang lain berfoto-foto dengan teman atau keluarga, sedangkan saya? Sepertinya terpaksa selfie, saya butuh dokumentasi untuk laporan saya hehehe....

Tentu saja tujuan utama adalah kloset. Mumpung masih di tempat yang jelas segala sesuatunya, mending dituntaskan saja di sini. Keluar dari restroom, senyum saya merekah lebar melihat deretan komputer. Oh yes baby, free internet. Ah, noraklah saya. Ya, gimana dong, pulsa saya hanya diisi Rp100000,- dan akan berada dalam flight mode hingga saya kembali ke Jakarta. Free internet adalah bentuk penghematan. Nah biar ga terlalu kelihatan ngiler, saya mampir ke sampingnya, ada rak brosur bandara. Bandara Changi kan memang terkenal memiliki hiburan yang lebih lengkap ketimbang Soetta, jadi yah pantaslah ada buklet yang menerangkan berbagai tempat kebanggan Changi. Saya duduk manis di sebuah bangku panjang sambil lama memerhatikan buklet tersebut. Barulah setelah itu, saya berjalan sok cool ke deretan komputer itu.

Halah, siapa juga yang liatin sih?

Komputer itu bisa digunakan selama 20 menit secara gratis, setelah itu mati dengan sendirinya. Kok bisa? Bisa dong, pasang kompi tersebut di meja dengan ukuran tinggi yang aneh dan tanpa bangku, maka Anda tidak akan mau berlama-lama di kompi itu hehehe ....

Saya gunakan saat itu untuk menghubungi teman saya, sekadar mengkonfirmasi apakah kami jadi ketemuan. Mengingat teman saya itu juga ada acara di tempat yang jauh dan konser yang saya datangi usai cukup larut. Mengirim pesan pada si korean freak, aih kusebut saja namanya, Ditta. Pegel pula awak nih. Pasang status norak yang menunjukkan lokasi. Dan sebenarnya itu cara saya mengatakan pada orang-orang yang memikirkan saya bahwa saya baik-baik saja.

Setelah itu, saya menyempatkan diri berkeliling Changi. Sekadar meluruskan kaki sekaligus pemanasan sebelum melakukan banyak aktivitas jalan kaki di Singapura. Yah overall, kaya mall lah Changi ini. Pemandangan luarnya biasa saja, cenderung gersang, tapi mereka membuat gemerlap di dalam, yah bolehlah. Ini namanya meningkatkan kualitas hidup secara mandiri.

Saya sebenarnya tertarik dengan tur gratis keliling Singapura selama dua jam yang ditawarkan Changi. Namun, sayang hanya berlaku bagi yang melakukan transit di Singapura selama 5 jam. 

Hanya berjalan-jalan sebentar tapi waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Saya setidaknya harus sudah ada di venue di Singapore Indoor Stadium pukul 4. Jadi, kalau mau jalan-jalan, kayanya harus keluar segera dari bandara.  Lalu saya berkeliling lagi, bukannya apa-apa, saya tidak tahu ke mana jalan keluarnya. *tepok jidat

Yah sudahlah, tanya saja.

FYI, saya itu rada parno sama segala bentuk pegawai semacam SPG, SPB, pegawai informasi, customer service, dan semacamnya. But i have to ask, kalau tidak mau ngider-ngider ga jelas. Yah sudah, saya tanya, “How do I get out of here?” oh Amy, tidak adakah kalimat berbahasa Inggris yang lebih baik dari itu?



Antrian di imigrasi cukup panjang dan lama. Saya lama menghabiskan waktu berdiri sambil melihat peta promo tempat wisata di Singapura, yang tadinya mau ke taman ini itu akhirnya fokus ke SIS saja mengingat sudah lama sekali saya mengantri dan ini sudah jam setengah 1. Perut mulai lapar. Bumil harus sering ngemil tapi diingatkan teman bahwa tidak boleh makan sembarangan di Singapura. Hadooooh.

Akhirnya saya tiba di hadapan petugas imigrasi. Cewe keturunan India. Baru ganti shift jadi segar banget. Sesegar pertanyaan tegasnya soal alasan saya tidak menuliskan alamat di Singapura. Yah, saya bilang saja, “konsernya baru selesai jam 10 malem kali neng. Pesawat berangkat jam 8. Ngapain juga bobok di hotel.” Hehehe, ga gitu juga sih ngomongnya. Lalu dia minta bukti tiket konser. Syukur ga lupa di print tuh tiket. Akhirnya saya boleh pergi asal meninggalkan nomor handphone, dan kayanya saya salah menuliskan nomor :p


DEBUT di MRT

Perlu bertanya pada satu petugas informasi lagi untuk akhirnya menemukan stasiun MRT yang memang terhubung langsung dengan bandara. Ini adalah sesuatu yang sangat praktis. Saya yang sudah girang ada transjakarta yang berhenti di Ancol dekat Dufan ini tentu kaya ketemu sebuah solusi paling cihuy ketika ketemu MRT. Apalagi saya menghabiskan banyak tahun menjadi anak kereta.

Namun yang pertama kali harus saya lakukan adalah, beli tiket. Saya sudah diberitahu soal mesin tiket, nah masalahnya saya tidak tahu cara menggunakan mesin tersebut. Mana tangan gue bau. Nanti saya digalakin pula sama orang Singapura yang dalam otak saya cukup galak jika menyebabkan antrian panjang.

Jadi saya lihat satu pasangan tengah mencoba menggunakan mesin tersebut. Kayanya mereka juga bingung. Ah mumpung sepi, saya coba mesin di sebelahnya. Daaan saya bengong. Dari pantulan mesin itu saya melihat ada yang mengantri di belakang saya, saya pun menyingkir dan membiarkan lelaki berbackpacker itu menggunakannya terlebih dahulu, sedangkan saya mengamati dari samping.

Tentulah lelaki ini sadar saya memerhatikannya dan usai dia dapatkan tiket, dia tanya pada saya apakah saya tahu cara menggunakan mesin tersebut dalam bahasa melayu. Saya menggeleng. Lalu dia pun menjelaskan. Which was pretty easy. Layar awal tekan pilihan “tiket regular”, lalu akan muncul rute MRT. Pilih lokasi, terlihat digit nominal di kiri atas, masukkan uang, lalu keluarlah tiket beserta kembalian.
lelaki bercelana pendek paling kanan adalah orang yang membantuku menggunakan mesin tiket MRT

Saya baru tahu belakangan ada cara yang lebih mudah lainnya dari Ditta. Dia pakai flazz card kalau ga salah. Jadi tinggal tap dan tap, ga perlu antri mesin tiket. Lain lah kalau sudah pengalaman.

Berbekal aplikasi MRT di handphone dan peta kecil di tangan, saya naik MRT menuju station Stadium.

Use your eyes and ears. Terngiang-ngiang di kuping saya, hingga kemudian saya sadar terlalu banyak menggunakan eyes ketimbang ears ketika MRT yang berhenti di Tanah Merah melaju mundur, kembali ke stasiun Expo. Kupingnya, Ti. Udah ada yang ngomong nih kereta Cuma sampe Tanah Merah, habis itu kudu transit.

Yah sudah, naik dari Expo, bisa juga kok. Yah lumayan lihat langit Singapura lagi, namanya juga MRT, sebagian besar di bawah tanah dan tertutup, ga ada pemandangan.  Cuma di Expo kita bisa lihat deretan apartemen macam Kalibata City Cuma dengan jendela lebih besar, tingkat lebih rendah, dan ga ada mobil yang parkir di bawahnya. Ah teringat mumetnya parkiran di Kalibata City. Orang sini jarang punya mobil kali ya?

Di MRT itu saya jadi punya kesempatan melihat bermacam-macam orang. Melihat aturan-aturan yang berbeda dengan di Jakarta. Bayangin, denda makan di tempat yang dilarang itu SGD5000, beda berapa nol tuh sama SGD50 yang saya selip di dompet?

Nyengir sendiri melihat oma-oma masuk MRT, lalu berdiri dan ... ngapain coba? Nonton film di smartphone-nya. Dia ga pake tablet segede gambreng loh ya. Smartphone-nya ga beda jauh dari milik saya. Kaya sinetron dokter-dokter gitu.


TIBA DI TKP

Station Stadium. Akhirnya sampai juga. Berpapasan juga dengan alay-alay berkaos beragam member YG Entertainment. Yak emak hamil di tengah alay Singapura (dan ternyata banyak juga yang dari Indonesia hehehe ... ga heran yak). Menurut blog review yang saya kunjungi sebelum ke Singapura, jarak stasiun dengan stadium itu 30 menit jalan kaki. Tapi dalam sudut pandang saya, begitu keluar stasiun, itulah stadiumnya. Haiyah ini mah deket. Langsung terhubung dengan Sports Centernya. Semacam Senayan kalau di Jakarta.

Tentu saja kali ini yang saya cari adalah tempat makan. Setelah memastikan di mana Singapore Indoor Stadium, saya menoleh ke arah seberangnya, ada mal. Yes, pasti ada tempat makan. Soalnya ga keliatan ada gerobak-gerobak penjual makanan. Padahal kan ada konser di sini.

Mal itu sendiri ga besar sih menurutku, hanya tiga tingkat tetapi memang masih mengusung tema sporty. Jadi di sana ada indoor wall climbing dan di lantai teratas ada arena main air. Saya sih mencari food court yang ternyata pendek saja. Kirain bohongan.

Dan seperti yang saya alami di Semarang, saya ’terpaksa’ cari yang halal. Kebanyakan konter pasti ada menu babinya, jadilah saya pilih yang hanya menyediakan makanan melayu. Nasi dengan ayam kuah kuning. Dan apa nama tempatnya? “Warung Padang”. Haiyah, emang ga bakat wisata kuliner gue. Menu seharga SGD4 sajah. Lumayan.

Minumnya belum beli. Saya lihat ada konter jus, tetapi konter jus ini terlihat lebih dinamis ketimbang di Jakarta. Bisa jadi karena di Jakarta kebanyakan konter penjual makanan pun menjual minuman. Saya pilih tropical juice seharga SGD4, yang disuguhkan dalam gelas toples besar. Secara kuantitas mungkin tidak akan cukup hingga konser usai nanti, but I need these vitamin C, ada nanas, jeruk, dan apalagi ya ... oh mangga. Rasanya segar di bawah terik matahari.

Usai makan minum yang cepat itu, waktu menunjukkan pukul 3. Mengecek posisi Ditta via FB (bahkan sampai sekarang aku ga tahu nomor hp-nya), lalu berjalan melihat sekitar. Sebentar saja memerhatikan dari balkon mal, sekelompok orang berlatih voli pantai sambil dibelakangi danau. Sambil mikir, kenapa di Senayan ga ada tempat buat voli pantai ya? Sepertinya luasnya ga kalah, yah mungkin bisa saja saya salah.

Nah dasar ibu-ibu, saya akhirnya lebih tertarik mendekat ke mana banyak anak-anak berkumpul. Sedang ada acara family event gitu di sana, jadi ada beberapa atraksi tambahan. Saya duduk di antara mal dan stadium hingga Ditta datang.



bersambung .... 

Minggu, 09 November 2014

My Story: Double Stripes, Again?



Setelah lebih dari dua bulan blog vakum, akhirnya mulai ada selera buka laptop. Emang kenapa sih, cyiiin? Yah seperti yang telah tertulis di judul. Tanda dari tongkat ajaib yang akan mengubah banyak hal.


Semua berawal sejak kepulangan saya dari Semarang. Saat itu saya dilanda lelah luar biasa, malas luar biasa, rumah jungkir balik, rasanya tangan tak kunjung sampai membereskan rumah yang seringnya lebih kecil dari ukuran kamar deluxe sebuah hotel. Belum lagi malas itu usai, saya merasa kembung. Saya pikir, oh mungkin ini efek mau datang bulan. Namun setelah lewat jadwal datang bulan, kembung itu selalu ada, dan si bulan ga datang-datang.

Saya bicarakan ini ke mama saya, apa pendapatnya saudara-saudara? “Menurut ilmu yang pernah mama pelajari, kembung berkepanjangan itu adalah tanda-tanda kanker usus.” JEENG JEEENG.

Segeralah saya dijadwalkan untuk bertemu dokter penyakit dalam langganan sekaligus favorit mama. Rasanya malas sekali ketemu dokter ini. Bukannya apa-apa, jadwal praktiknya jelang magrib dan dia bahkan masih harus bertatap muka dengan pasiennya hingga dini hari. Untung ganteng dokternya.

Nah selagi menunggu hari ke dokter, saya berkaca, kayanya ada yang aneh dengan perut ini. Bentuknya berubah.  Mancung. Oh, no.

Dalam curiga yang penuh ketidakpercayaan, saya belilah test pack. Ah, kayanya baru kemarin beli testpack. Baru kemarin bersorak sorai Safir lepas ASI. Baru kemarin menghapus popok dalam daftar belanjaan. Pokoknya semua baru kemarin deh.

Dan ternyata benar. Tak perlu menunggu dua menit, tongkat itu sudah menunjukkan dua garis bahkan saat masih dalam keadaan tercelup.

Are you kidding me, God?

Well, ga benar-benar saya ucapkan sih, tapi karena Tuhan Mahamengetahui saya yakin Dia pun tahu niatan lidah saya.

Sebelum berkomentar tentang niatan saya itu, biar saya ceritakan dahulu apa pasal saya ingin bertanya seperti itu.

Pertama, I don’t consider myself as a good mom. Maka dari itu, walau saya sudah punya rancangan nama untuk empat anak, saya memutuskan belakangan bahwa dua anak itu cukup. Because I’m not good enough. Masih ibu yang galak. Kebayang dong ditambah satu lagi. Ini tuh kaya lagi mumet kerja overload di kantor terus masih dikasih lagi kerjaan sama bos yang berlalu sambil senyum-senyum.

Awalnya saya mengingatkan diri bahwa di luar sana ada pasangan yang bahkan menanti anak pertama pun masih waiting list, so sudah sewajarnya saya bersyukur. Namun belakangan saya ralat, ini Tuhan yang memutuskan. Bukankah saya diajarkan untuk percaya bahwa apa pun keputusan-Nya adalah yang terbaik? Yang diberi, belum diberi, tidak diberi, dan diambil oleh-Nya adalah yang terbaik. Nah, pe er manusialah untuk mencari tahu sisi terbaiknya.

Kedua, how did it happen? Sejak saya terakhir datang bulan belum ada investasi. Investasi terakhir justru ketika beberapa hari sebelum datang bulan. Dan itu pun harusnya tidak ada investasi, ah ribetlah mau ngomongnya di sini, vulgar sangat hahahaha ....

Lanjut cerita, Senin malam itu saya membatalkan jadwal ke dokter penyakit dalam di hari Selasa dan tertawa geli dengan dugaan awal mama (walau kemudian teringat ada orang-orang yang menderita kanker di luar sana and it’s not funny), lalu menjadwal kunjungan ke dokter kandungan di hari Kamis. Agak terburu-buru karena saya sudah ada rencana nonton konser Korea di Singapura sendirian. Yup, you can say that again. Makanya saya perlu semacam konfirmasi untuk mempersiapkan diri.

Jadwal hari Kamis diundur menjadi Jumat malam, padahal Sabtu subuh sudah harus cabut. Alamaaak.  

Hasil dari dokter loud and clear, sudah ada kantung, usia 7 minggu. Dihitung-hitung, berarti ketika saya datang bulan, ovarium saya yang satu lagi sudah mengalami pembuahan. Dan itu semua akibat investasi tidak langsung alias ejakulasi di luar. Jadi para pelaku seks di luar sana, inilah bukti ketika Anda tidak menggunakan pengaman dan ejakulasi di luar, tidak berarti Anda akan terbebas dari yang namanya pembuahan. Hanya butuh satu sel sperma, tuan-tuan.

Oh iya, dokternya pun dokter yang menangani Malika dan Safir, dr Botefilia, jadi yaaah agak malu-malu gimanaa gitu ketemu dokternya sambil bawa dua krucil.

So here I am, still pregnant (alhamdulillah), memasuki 17 minggu, hasil USG sudah menunjukkan SATU kepala, dua tangan, dua kaki, semoga memang isinya satu janin. Please don’t surprise me more, God. Masih mual-mual dan pusing berkepanjangan, dan malas yang berkelanjutan (tapi sudah mulai membaik dengan bukti postingan ini), masih ga tahu bagaimana saya akan mengatasi semua ini, sepertinya saya akan butuh banyak doa dan berdoa.