Rabu, 16 Desember 2015

Terbang dan Berbahagialah, Ma

"Mama mau ikut pengajian. Mau datang ke arisan ..." ujar mama lirih di dapur sambil mencuci piring. Deru air yang mengucur dari keran menyambut tetes-tetes airmatanya yang sudah tak tertahankan lagi. Saya yang di sampingnya hanya terdiam. Tak ada jawaban.
 
Mamaku lelah mengurusi anakku.
 
Jika hanya terpaku pada kalimat di atas, mungkin tersimpulkan bahwa mama tak suka dengan anak-anak. Namun keheningan membawa saya jauh ke masa lalu. Jauh sekali ke masa mama kecil.
 
Mama adalah anak tertua dari sepuluh bersaudara. Terlahir dalam tradisi minang, jelas ada begitu banyak tumpuan di pundaknya sejak dini. Terlahir prematur, mama baru bisa berjalan saat berusia empat tahun. Pada umur sekecil itu pun dia sudah punya beberapa adik. Dia ingat saat masih kecil disuruh amaknya duduk di pojok sambil selonjoran lalu ditaruhlah adik bayi di kakinya. Karena usianya terlalu kecil untuk menggendong.
 
Mama, hampir seumur hidupnya berpikir dan bertindak untuk keselamatan orangtua dan adik-adiknya. Mama berjuang mati-matian untuk menaikkan derajat keluarga yang hidup dalam kemiskinan, karena beliau sendiri mengalami betapa pahitnya hidup serba kekurangan. Merantau dari perkampungan di Sumatra Barat ke Jakarta di usia 16 tahun, lalu dari Jakarta terbang ke Belanda dan hidup di sana selama lebih dari 10 tahun. 
 
Merantau hingga ke negeri Belanda pun demi satu misi, mengubah hidup. Menjauhi segala aksi gaul demi menjaga diri agar bisa tetap sehat jasmani dan rohani karena ada keluarga di kampung yang menantikan rezeki halalnya. Belasan tahun di luar negeri, mama mungkin bisa dikatakan yang paling kuper, statusnya masih diselamatkan dengan jabatannya sebagai kepala kelompok para perawat Indonesia di Belanda. Mama adalah tipe orang yang berprestasi tapi tidak gaul.
 
Saya ingat suatu kali mama ditugaskan ke Bali, lalu pada akhir pekan mama diajak rekannya hangout di Lombok. Refreshing. Mama menolak. Dalam pikirannya, "bagaimana jika saat menyeberang saya tenggelam? Tenggelam saat hendak bersenang-senang padahal pergi ke Bali untuk bekerja." Saya bahkan tidak terpikir ke situ.
 
Puluhan tahun mama tidak punya teman. Yang ada hanya, anak buah. Hingga akhirnya beliau pensiun. Mulailah dia memasuki komunitas di sekitar lingkungan, arisan RT, arisan RW, pengajian si A, pengajian si B ... sempat berjalan lancar hingga saya kemudian melahirkan anak pertama dan masih bekerja, dan tanpa ART.
 
Sejak percakapan itu, hari demi hari berlalu dengan kegalauan saya. Di satu sisi, saya paham 'kelelahan' mama mengurus anak kecil. Dia butuh memiliki kehidupannya sendiri. Setelah sekian lama ... Dan akhirnya Tuhan menjawab kegundahan mama. Papa mengalami kecelakaan mobil dan mama sebagai perawat pensiunan fokus mengurusi papa sehingga tak bisa memegang anak saya. Saya pun selama sebulan hanya bekerja separuh hari, hingga kemudian saya memutuskan untuk mengundurkan diri. Allah memberikan kejutan kecil di peristiwa itu, kehamilan kedua saya. Semua mungkin memang sudah takdirnya. Dan 40 hari usai melahirkan, saya pun pindah rumah.
 
Jika saat kita menikah seolah orangtua tengah melepas kita untuk terbang, saya merasa saat pindah rumah sayalah yang melepas ibu saya untuk terbang menikmati kehidupannya sendiri. Saya bahkan tak henti-hentinya terpukau bagaimana urusan arisan dan pengajian itu membawanya ke mana-mana di seluruh Indonesia. Bahkan sempat mampir ke Eropa. Pada satu foto yang diambil baru-baru ini, senyum mama begitu merekah. Bahagia. It's about time, mom. You deserve it.  Just fly freely and be happy.

12 komentar:

  1. *Senyum bahagia di akhir cerita.
    Saya membayangkan beliau bahagia dalam mengisi masa tuanya.
    Dan, kisah inipun 11-12 dengan yang pernah saya alami.
    Saya bekerja, selama bekerja, anak dititipkan ke mamah. Sampai-sampai jadi anak nenek. Sampai pada suatu titik saya berpikir, dulu mamah membesarkan saya dengan susah payah. Masa sekarang harus mengulangi masa-masa yang sama. Kapan beliau menikmati hari-harinya? Walaupun beliau tidak mengeluh mengurus cucu.
    Setelah saya keluar kerja. Alhamdulillah suami dapat jatah rumah dari kantor. Lalu saya hamil anak kedua. Kisah kita nyari sama, ya? :D

    Makasih udah sharing Sejuta Kisah Ibu di rosimeilani.com
    Pantengin apdet peserta GAnya di sini: http://rosimeilani.com/2015/12/06/daftar-peserta-ga-sejuta-kisah-ibu/

    BalasHapus
  2. Ibu memang luar biasa, ya? Banyak kisah tentang beliau. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau lg kaya bgini jd mikir2 kira2 apa yg bakal dceritain anak2 saya nanti ya bgitu dewasa ^^

      Hapus
  3. ceritanya bikin nyes, soalnya saya belum bisa pindah dari rumah mamah :(.

    Tapi perjuangan ibunya memang luar biasa ya, Mbak ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. ga papa, mbak. Semua keputusan adl tepat pd masanya ^^

      Hapus
  4. Semoga Allah selalu memberikan yang terbaik buat ibunda. Aamin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, amiin ... Doa yg sama untuk ibunda mba yaa ^.^

      Hapus
  5. Perjuangan Mamanya luar biasa :)

    BalasHapus
  6. Semoga Allah senantiasa memberikan kesehatan dan kebahagian untuk ibunda serta mba sekeluarga

    BalasHapus
  7. Kalau mama saya sejak saya masih kuliah sudah pernah ngomong, orang tua itu mestinya ketika tua tinggal konsen ibadah, ga ngurusin anak2 lagi. Mama saya ngomong gitu karena lihat tetangga yg sampai tua masih dititipi cucu. Dan saat menikah pun saya berusaha ga menitipkan anak3 kalau ga penting banget :)

    BalasHapus