Kamis, 07 September 2017

KAMYStory: Alasan Saya Suka "Islam itu Ramah Bukan Marah"


Tidak banyak buku yang ketika dibaca dua atau tiga kali masih memberikan efek ‘waw’ atau bahkan lebih, apalagi kalau buku itu adalah nonfiksi. Dan buku ini salah satunya. Bahkan kalau saya biarkan tangan ini mengambil stabilo, maka sudah berhias warna warni di sana sini untuk kutipan-kutipan keren.

Irfan Amalee bukan orang baru bagi saya. Walau tidak pernah berurusan langsung dengannya, tapi kalau sudah mengemukakan gagasan itu rasanya ada harapan untuk dunia. Ulasan kegiatan beliau di bawah bendera Peace Generation tidak jarang membuat saya terharu. Apalagi kalau teringat sedang berada di dunia yang penuh caci maki.

Sedih loh begitu berhadapan dengan mereka yang suka melabeli negatif even on daily basic. Ada sekian banyak reaksi yang hendak saya lontarkan, yang jika tidak saya tahan bisa jadi saya pun telah serupa dengan mereka. Istigfar ... istigfaaar.

Apakah Rasulullah pernah marah? Tentu saja. Namun, secara keseluruhan, wajah Islam yang seperti apakah yang Rasulullah tampakkan dalam dakwahnya? Ramah atau Marah? Halus atau sindir-sindiran?

Kang Irfan mengambil peristiwa-peristiwa terkini yang kemudian disandingkan dengan cara Rasulullah bersikap dalam menghadapi berbagai hal saat melakukan dakwahnya. Dan tentu, sikap Rasullullah adalah sunnah bagi para pemeluk Islam, bukan? Seperti yang diingatkan kang Irfan dalam babnya berjudul, “Manakah Sunnah yang Lebih Utama, Janggut atau Senyum?”

Jika mengingat perilaku Rasulullah terasa jauh dan sulit, maka bukalah judul “Belajar dari Bapak Bangsa Kita ...” yang memaparkan tentang hubungan Soekarno-Buya Hamka, Muhammad Natsir-Soeharto, dll. Sebuah situasi yang walaupun berbeda pendapat tetapi tidak saling menghilangkan kemanusiaan di antara mereka. Seperti ketika saya bertengkar dengan kakak saya, walaupun pernah saya delete dari pertemanan di media sosial tapi saya menyadari bahwa yang namanya saudara lebih dari status perkawanan di dunia maya. Nah, bukankah sesama muslim itu bersaudara. Pada yang nonmuslim pun bersaudara dalam kemanusiaan.


Pertanyaan dalam judul “Apakah Kamu Tipe Kompor atau Tipe Jembatan?” ini menggema dari telinga hingga ke hati saya. Anak sulung saya tipe kompor, dan melihat dirinya, saya jadi terbayang orang-orang yang benar-benar senggol bacok di luar sana. Sebuah PR besar bagi saya ketika setiap kali si sulung melontarkan sesuatu pernyataan yang dia dengar yang kemudian disambut oleh adiknya secara mentah-mentah. Benar-benar momen saya diacuhkan oleh mereka yang tenggelam dalam praduga dan prasangka sedangkan saya sudah mengelilingi mereka untuk mengatakan bahwa itu tidak benar. Ini baru dua orang anak kecil loh. Gimana yang sudah dewasa? Oh help me God ... Menjadi tipe jembatan itu tidak mudah. Tidak diterima di sisi satu, dimusuhi di sisi lainnya. Maka, judul di atas berubah menjadi, “Beranikah kamu menjadi tipe jembatan?” di kepala saya .... Berani ga yaa ....?  Tapi kalau ga berani, mau dibiarkan saja orang-orang pada bertikai?


Ada kutipan yang sangat saya suka dalam judul  “Seberapa Pentingkah Membaca Bagi Kita?”:
“Berapa kali Allah dalam Al-Quran menyuruh ibu-ibu pakai kerudung?” Ibu-ibu diam karena tidak ada yang tahu.
“Hanya satu kali,” kata Pak Satia. “Tahukah ibu-ibu berapa banyak ayat yang memerintahkan membaca dan menulis?” Ibu-ibu dia karena tidak ada yang tahu. “33 kali!” lanjutnya.

Jadi, oleh karena menutup aurat sangat penting, maka membaca menjadi SANGAT PENTING yang dikuadratkan 33x. How big is that?

Saya semakin merasa menjadi butiran debu saat Kang Irfan menyebutkan bahwa Al-Thabari, seorang mufasir dan sejarawan Islam menulis 40 halaman setiap hari! Ya ampun, saya mau update blog seminggu sekali saja seperti sedang disuruh plank 3 menit. Maju mundur maju mundur, akhirnya ga jadi jadi.

Mau saya sih dituliskan saja semua di sini isi bukunya, tapi namanya membajak karya orang dong ^^’ Maka marilah membeli buku seharga Rp44.000,- ini di gelaran IIBF di JCC Senayan mulai tanggal 6-10 September ini. (Lha jadi jualan ^^’). Beli buku yang lain juga ya. Jangan lupa dibaca, jangan difoto doang. Ada begitu banyak hal yang tidak kita ketahui di luar sana. Banyak baca, banyak menulis biar berani jadi jembatan eh agen perdamaian (ngomong buat diri sendiri).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar