Rabu, 30 April 2014

Kenangan dan Harapan di Museum Tsunami Aceh



sumber: http://www.indonesia.travel/public/media/images/upload/poi/Museum%20Tsunami%20Aceh%20-%20Gallery%20(10).jpg


Sejak kecil, setiap kali ayah saya mudik ke Aceh, dia akan kembali ke Jakarta dengan membawa tiga rasa dari Aceh. Rasa historis, rasa budaya, dan rasa agamis. Ketiga rasa ini seolah tak pernah berpisah dalam keadaan apa pun. Bahkan ketika tsunami melanda pada 2004 lalu. Saya ingat bahkan pada 2008 ketika hendak melihat-lihat perlengkapan pelaminan Aceh, si pemilik berujar, “Sekarang sudah tidak ada lagi yang membuat. Korban tsunami.”


Dalam sekejap, Aceh yan g berpuluh tahun menyandang status sebagai daerah konflik, daerah tidak aman, berubah menjadi daerah yang luluh lantak diterjang ombak. Banyak orang mengira, habis sudah riwayat Aceh sebagai Daerah Istimewa. Namun, banyak pula yang lupa bahwa ombak pun sejatinya menjadi bagian dari kebudayaan Aceh. Tari saman adalah filosofi deburan ombak dan zikir yang mengalun di antaranya. Jadi ketika tsunami terjadi, di tengah tangisan pilu, adalah zikir tiada putus yang selalu berkumandang dalam setiap siaran televisi. Agaknya itulah salah satu bukti bahwa cahaya harapan itu belum padam sepenuhnya.


Aceh sungguh kian berbenah setelah bencana itu. Salah satunya adalah mengadakan lomba desain gedung terkait tsunami. Dan sungguh terharu rasanya ketika seorang dosen ITB, yang kini menjadi Walikota Bandung, memenangkan lomba desain untuk sebuah bangunan bernama Museum Tsunami Aceh. Bagaimana dia menciptakan sesuatu yang merupakan perwakilan dari semua aspek yang dimiliki Aceh dengan citarasa modern.


Museum Tsunami Aceh terletak di Jl. Iskandar Muda, Banda Aceh. Museum ini buka setiap hari, kecuali hari Jumat, dari pukul 10.00-12.00. Bentuknya mencolok, seperti kapal Nabi Nuh yang ada di puncak gunung. Itulah fungsi lain Museum Tsunami Aceh, sebagai escape building jikalau hal serupa terjadi (naudzubillah mindzalik).   Dari samping bentuknya memang menyerupai kapal dengan geladak luas lengkap dengan cerobongnya. Kapal juga merupakan kawan dekat rakyat Aceh sebagai masyarakat pesisir. Sedangkan penyangganya mengambil ciri khas rumoh panggung Aceh.  Sedangkan jika dilihat dari atas, museum ini memiliki pola gelombang tsunami.


Interiornya tidak kalah menonjol. Museum ini menegaskan bahwa walaupun Museum Tsunami Aceh merupakan destinasi wisata tsunami, tetapi ini bukanlah wisata yang bisa dianggap remeh. Malah, lebih pas disebut bagian dari perjalanan rohani. Lorong Gelap Tsunami adalah lorong masuk dengan efek air jatuh di dinding. Tsunami kala itu memang membawa gelombang air berwarna hitam pekat. Aceh saat itu seketika gelap gulita semalaman karena terputusnya aliran listrik. Wajarlah ada anjuran bagi mereka yang memiliki fobia atau trauma untuk tidak menggunakan jalan ini.


Lalu ada Ruang Penentuan Nasib. Sebuah ruangan berbentuk cerobong  dengan tulisan lafaz Allah di bagian puncaknya. Di sepanjang dinding cerobong itu terpatri nama-nama korban tsunami. Ini adalah cerobong doa, semoga para korban diterima amal ibadahnya di sisi Allah Swt. Dan bagi yang selamat senantiasa diberikan jalan/petunjuk menuju arah yang benar.


Dan “jalan yang benar” menurut versi Museum Tsunami adalah sisi selanjutnya yang bernama Jembatan Harapan. Harapan untuk selamat muncul ketika para survivor mencapai dataran yang lebih tinggi. Ketika lebih banyak uluran tangan yang terjuntai, yang digambarkan dengan bendera 52 negara.


Apakah yang dilakukan orang ketika berada di puncak? Dalam keadaan normal mungkin untuk menikmati matahari terbit lalu kemudian turun lagi. Namun, saat tsunami, mereka yang selamat mencapai dataran tinggi, juga tak berlama-lama menatap langit karena mereka meninggalkan kenangan seumur hidupnya di bawah sana. Dan akan tiba waktunya bagi mereka untuk turun, mengais sisa-sisa kenangan, menapaki jejak-jejak kerinduan yang mungkin sudah tidak sama lagi bentuknya. Mereka turun untuk menangis, berduka, merayap, untuk kemudian bangkit kembali.


Itulah yang Anda akan lihat usai melewati Jembatan Harapan. Setiap dokumentasi akan tsunami. Diorama tsunami. Ruang bersantai dengan kolam berisi ikan hias. Toko suvenir. Toko makanan khas Aceh. Semua itu menunjukkan bahwa Aceh tidak mati. Jangan lupa untuk memasuki area yang berisi informasi dan simulasi lengkap tentang tsunami dan gempa berbasis iptek. Oleh karena sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang beriman, dan sebaik-baiknya orang beriman adalah mereka yang berilmu.


Yang menarik adalah, Museum Tsunami Aceh bukanlah “penghuni” pertama. Di bagian belakang museum ini ada komplek kuburan Belanda bernama Kerkhof. Sekali lagi, kedua sejarah ini menjadi bagian dari rasa historis khas Aceh.


Bencana ini memang kenangan yang menyakitkan. Namun, jadikanlah ini sebagai pembelajaran bagi kita semua. Bahwa Allah senantiasa memberikan kemudahan dalam setiap kesulitan. Karena  ombak akan senantiasa tercipta dalam bahtera kehidupan manusia. Pintar-pintarnya kita untuk mampu bertahan dalam kapal kita.


Jadi, jika Anda merasa menjadi orang paling menderita di seluruh dunia, datanglah ke Aceh. Masuki Museum Tsunami Aceh. Maka Anda akan memahami bagaimana seharusnya kita menghargai kehidupan.


Sumber: http://m.kompasiana.com/post/read/476854/ada-apa-di-dalam-museum-tsunami-aceh.html


 

Kelas Inspirasi Jakarta #3 (part 3): D Day


Dan hari itu datang juga. Setelah sekian banyak diskusi via whatsapp di antara ketiga belas relawan, setelah sempat survei ke SDN 1 Pagi Balimester, saatnya saya menghadapi anak-anak itu. Bersyukur juga jadi minoritas di kelompok ini (baca: ibu-ibu), jadi saya bisa dapat dispensasi ketika meminta izin tidak bisa datang sejak pagi sekali. Yah, urusan taruh anak-anak di daycare.

 


Saya pun baru tidur sekitar pukul empat pagi. Semalaman mengerjakan persiapan prakarya. Ya, memang harusnya dicicil, tetapi kemarin-kemarin dah nyicil kok, nyicil tidur. Bukan hal baru kalau saya suka meremehkan dan akhirnya keteteran. Toh, saya bersyukur juga suami lagi di luar kota, mayan deh malam panjang dimanfaatkan sendirian. Segala sesuatunya sudah saya siapkan, itu kemajuan loh. Akan ada tiga prakarya hari itu. Satu, kartu cupcake, nyontek dari buku Malika yang Mister Maker. Dua, cupcake cita-cita. Dua lembar karton besar digambar cupcake raksasa yang nanti akan ditempeli  sprinkels kertas warna berbagai bentuk. Ketika, replika cupcake. Cupcase mini disumpal kertas koran, ditutup sterofoam bulat, ditempeli kertas warna warni bulat, lalu ... yah rencananya mau tempelin sprinkle kertas kecil-kecil dan  kemudian ditambah gambar karakter kartun yang ditusuk di tusuk gigi. Tapi, ga punya tusuk gigi rupanya. Karakter kartunnya juga ga di-print. Ya sudahlah, pakai origami saja. 

 

Ga hanya itu, belum bikin kue. Puding sudah kelar. Kuenya baru dibikin begitu pagi menjelang. Ketan hitam kukus, baru nyoba. Bahkan kukusan masih menyala saat saya mengantar anak-anak ke daycare. Masih di dalam loyang saat dibawa. Ternyata ga enak, huehehehe .... maaf yak yang sudah nyoba. Inilah akibatnya kalau bikin buru-buru.

 

Jam sudah menunjukkan pukul 8 saat saya bergegas keluar dari unit. Saya memang giliran jam 08.30, tapi kayanya mepet banget gue jalannya. Saat di tengah jalan, saya teringat sesuatu. OMG, karton bergambar cupcake raksasa saya!! Sembari menghapalkan lagu Terhebat-nya CJR yang konon mau dinyanyikan saat closing ceremony, saya mengingat-ingat. Kayanya mereka ga punya toko ATK. Sekolah gratis gitu loh. Mata saya kemudian jalang mencari tempat fotokopi. Syukurlah hanya gambar cupcake raksasa, bisalah saya bikin on the spot. Akhirnya ketemu! Dan karton berbungkus plastik berdebu itu segera saya bayar.

 

Sesampai di sana, konon tepat waktu. Tapi saya tiba dalam keadaan tersengal-sengal. Bad strategy. Anak kelas 6 yang jadi korban pertama saya, sebelum kelas 4 dan 5. Harusnya mereka mendapat prakarya replika cupcake, tapi otak saya belum bisa improvisasi untuk kekurangan materi di prakarya tersebut. Akhirnya saya kasih kartu cupcake saja. Anak kelas 5 yang dapat replika cupcake. Sedangkan kelas 4, sesuai rencana, cupcake cita-cita.

 

Saat pertama bicara, saya akhirnya menyadari bahwa saya seharusnya bicara to the point saja. Maksudnya, banyak bicara dengan gambar dan segera berkarya. Kalau ga, anak-anaknya pada kabur. Hahahaha, saya buruk sekali soal bicara di depan publik begini, untung gue bawa prakarya. Kalau sudah saatnya prakarya baru deh pada ngerubung, sampai-sampai saya lupa foto-foto mereka punya karya. Ga sempat juga. Karena rada malu, jadi pengen cepet-cepet keluar hehehe.

 

Dari tiga kelas yang saya masuki, saya mau tidak mau jadi berpikir, kapan ya mereka terakhir kali berurusan dengan ketrampilan? SD Negeri memang mengusung belajar mandiri, dan ketika saya pernah tanyakan saat survei, kegiatan ketrampilan itu hanya mencakup menggambar dan menyanyi. I mean, banyak dari mereka yang ga paham saat saya tunjukkan membuat segitiga dari kertas warna bujur sangkar. Oia, si origami akhirnya saya pakai topping pinguin origami yang kebetulan ada step by stepnya di bungkus kertas warna. Tiba-tiba saya merasa orisinil hehehe....

 

Atau ketika mengisi cupcake cita-cita. Ada yang kesal karena salah satu temannya memasang terlalu banyak cita-cita sehingga tidak muat di cupcake-nya. Saya bilang saja, “baguslah punya banyak cita-cita. Lagian masih bisa dipasang di luar gambar, nanti dibuat penghubung, seolah-olah toping tusuk.”  Dan tiba-tiba, anak-anak yang lain, berebut minta sprinkle lain untuk dipasang.

 

Ada juga ketika prakarya replika cupcake. Saya membawa satu koran utuh. Dan rupanya anak-anak cowok itu tertarik dengan salah satu lembar koran. Lembar selebriti. Yang ada pose artis seksi. Hadeeeuuuh .... salah gue deh. Jadilah si anak cowo berulang kali meminta saya lembar koran itu.

“Mau lihat saja, Bu.” Jawabnya sambil cengangas-cengeges.

Awalnya saya jawab, “Ih, norak, ih“ Lama-lama saya jawab, “Mau lihat? Sana mandi berdua sama ibu kamu. Sama aja.”

“Hiiiiiiiiy ....!!” sontak mereka menjawab. Dan tidak bertanya lagi.

 

Keriuhan anak-anak saya anggap sebagai Malika dan Safir yang berkloning banyak. Yah, karena anak orang lain, toleransinya masih 10. Saya biarkan saja mereka mengerubung, berebut, asal jarinya tidak kena gunting saja saat saya memotongkan selotip.

 

Secara umum sih saya membicarakan bahwa cita-cita itu ga melulu dokter. Ada juga yang lucu-lucu. Oh iya, saya mengenalkan diri sebagai cake decorator. Sebenarnya, anak-anak berharap saya bawa kue betulan. Awalnya saya memang mau semacam cake decorating class, tapi saat briefing saya jadi berpikir bagaimana jika nanti ada food war? Baiklah di demokan saja, lalu dibagi-bagi satu kelas. Tapi ada aturan tidak boleh memberi gimmick pada murid. Lagian ternyata saya pegang tiga kelas. Mabok bawanya. Syukur juga tidak jadi bawa kue betulan untuk dihias, karena ketika saya tunjukkan fondant dan mengatakan itu bisa dimakan, mereka berebut. Padahal fondantnya Cuma sebesar penghapus. Kebayang dong kalau ada kue betulan.

 

Fiuuuuh ... Dan closing ceremony pun tiba. Diakhiri dengan pelepasan balon, sisa ultah Malika. Masih disisakan untuk Safir nanti hehehe. Tidak jadi nyanyi CJR, padahal sudah hapal. Dan kemudian dijamu soto oleh para guru. Yang lama malah, ngasonya. Sembari nunggu giliran video dan foto. Kebayang, guru-guru itu, guru-guru saya, teman-teman yang jadi guru, setiap hari capek begini. Kalian ... luar biasa.

 

Akhir kata wanna say thank you untuk Kelas Inspirasi atas inspirasinya. Renny sebagai supervisor kelompok 41. Viringga si Ketua yang juga mengajar anak jalanan di Museum Bank Mandiri—lo keren. Desy si tangan kreatif yang jauh-jauh dari Cibubur berangkat saat subuh tapi masih bisa pasang bulu mata—serius deh, itu tepuk tangan banget. Putri yang tak kalah jauh dari Semarang tapi kok ya ga bawa sambal jualannya (inget sambal, inget Karai Sambal). Abbit, si ahli bumi, thank you tebengannya. Falah, makaseeeh yak gue ga dimasukkin ke pideo (LOL). Juraij, Thank you sudah membuat hati pilu akibat tidak ada dalam video ini terhiburkan :P. Mande, gue jadi bisa pasang profile picture baru. Pak Imam, Anda mengingatkan saya pada banyak orang hebat yang saya pernah saya kenal, always happy, pak. Sesaria, ibu dokter yang lagi hamil (kecil) tapi sudah tiga kali ikutan KI, semoga si jabang bayi turut tertular inspirasinya. Mba Novi, bu guru untuk anak kebutuhan khusus, Anda pasti sabar bukan main. Dan teman-teman lain yang tidak tersebutkan, jangan marah, saya nge fans dengan kalian semua.

 

Kelas Inspirasi memang bikin nagih. Tapi tunggu anak-anak sekolah aja dulu yak. Cukup kehebohannya hehehehe ....

 

 

Kelas Inspirasi Jakarta #3 (part 2): Ketika Amy Cuti


Kalimat yang sangat ditegaskan saat awal mendaftar sebagai relawan Kelas Inspirasi Jakarta #3 adalah, “Bersedia cuti pada tanggal 23 April 2014”. Tanggalnya sendiri berubah menjadi 24 April karena sebagai sekolah masih mengadakan try out. Dalam hati saya berkata, lah kalau saya minta cuti ke siapa?

 


Menjadi ibu rumah tangga yang kadang-kadang dapat duit dari hasil utak utik kompor atau laptop, istilah teknis seperti “cuti” kayanya memang asing. Dan mau tidak mau, hanya suami yang bisa saya anggap sebagai “bos” untuk urusan cuti ini.

 

Saya sengaja tidak banyak cerita tentang Kelas Inspirasi. Bahkan saat izin untuk ikut briefing-nya saja, saya hanya berkata sekilas. Sebenarnya saya menghindari perkataan, “kenapa ga nanti-nanti saja sih?” Saya dan suami memang memiliki perbedaan definisi perihal penempatan waktu.

 

Jadi, ketika seminggu sebelum hari H, dia mengkonfirmasi akan ke luar kota dari 20-24 April, saya diam-diam saja. Awalnya, saya hendak mendelegasikan suami yang mengantar anak-anak ke daycare saat saya bertugas. Supaya saya bisa datang lebih pagi, dan kemudian meminta izin pulang lebih cepat. Tapi, kalau dia baru pulang tanggal 24, ya sudah pasti saya tidak bisa berangkat pagi. Syukurlah keadaan ini dimaklumi sama rekan-rekan relawan KI.

 

Sejak beberapa hari sebelumnya, saya sudah bicarakan pada Malika bahwa akan ada satu hari di mana dia akan menunggu di sekolah bersama adiknya. Dia sih tidak keberatan. Tapi ga tahu ya. Saya menghindari drama bangun tidur sebenarnya. Sesuatu yang bisa bikin jadwal molor beberapa jam. I guess, itulah definisi Amy cuti. Cuti dari drama. Hehehehe ...

 

Semuanya santai-santai saja hingga waktu tidur. Saya sudah kondisikan tidur siang yang tidak terlalu sore agar bisa berangkat tidur jam 9. Eh, bocah-bocah itu malah melek sampai jam 11 malam. Saya sendiri sudah menyepi di kamar lain untuk menyiapkan prakarya sejak jam 9. Si bocah-bocah cakidut itu sibuk becanda cekakak cekikik. Amy yang tadinya berusaha konsentrasi berpikir positif, lama-lama senewen juga. Begitu jarum jam mencapai angka 11, saya marah-marah juga. Dan mereka tidur seketika.

 

Saya hanya bisa berdecak. Tidur jam segini mau bangun jam berapa, neng?

 

Yah, saya anggap rezeki lah. Pagi-pagi bisa mandi dengan tenang. Menyiapkan yang perlu dibawa anak-anak, yang perlu saya bawa, jadi nanti tinggal angkut usai mengantar anak ke daycare. Dan Malika baru bangun jam 7an. Melihat saya sudah berganti baju. Awalnya lupa. Tapi kemudian dia yang menyuruh saya bergegas. Safir masih tidur saat saya angkat ke stroller. Pakai stroller karena mereka pasti masih malas jalan. Lumayan, 15 menit jaraknya.

 

Awalnya mereka sih happy-happy saja ke sekolah. Safir pikir kita sedang mengantar kakaknya. Eh ternyata dia ditinggal juga. Nangislah dia. Hehehe Safir memang tidak saya briefing. Begitu melihat Safir mengejar ke arah pintu, saya bergegas ambil langkah seribu. Kabuuuur.

 

Jadwalnya setengah hari di daycare, tapi belakangan saya jadikan full karena jam 12 kami masih belum rampung. Sampai di Kalibata nyaris jam 3, saya juga shalat dulu, sedikit beberes, baru kemudian ke daycare. Maunya sih tidur-tiduran dulu, tapi kepikiran si Safir yang pasti sebentar-sebentar nangis. Apalagi jam tidur begini. Malika sih menurut laporan sangat kooperatif.

 

Eh benar saja. Lagi nangis dia. Biasa deh, Amy ditagih kendi. Nyusu sebentar, dah happy lagi dia. Eh  Malika yang jadi minta gendong melulu. Begitu diajak pulang, Safirnya yang ga mau. Dia maunya nyusu di daycare. Lha... piye iki.

 

So, jadilah drama si kakak digendong, si adik nangis-nangis tarik-tarik kaki Amynya sepanjang perjalanan pulang yang lewat mal itu.

 

“Amy ga boleh kerja,” kata Safir setiba di rumah.

Saya sih cengar-cengir saja. Ga kerja, Cuma pengen jalan-jalan aja kok. Kata saya dalam hati.

Okelah, kegiatan selanjutnya tunggu anak-anak masuk SD kali yaaa. ...

Kelas Inspirasi Jakarta #3 (part 1): Anak-anak Muda Itu ....


Akhirnya ikutan Kelas Inspirasi juga. Setelah tahu informasi ini dari teman yang mengikuti Kelas Inspirasi di Bandung beberapa tahun lalu, saya memang sudah lama ingin ikut. Hanya saja, ingatan tentang ini baru muncul lagi setelah (lagi-lagi) ada teman di Bandung yang ikut ambil bagian di Kelas Inspirasi. Dan ketika akhirnya saya menaiki Metro Mini 640 untuk briefing Kelas Inspirasi di LIPI, saya bertanya dalam hati, eh ini beneran ya?

 


Sebenarnya bukan lazim saya mengikuti sesuatu yang tidak ada barengannya. Namun, kali ini saya bahkan tidak memikirkan akan bertemu dengan siapa nanti. Pokoknya anak-anak sudah aman sama ayahnya. Itu sudah lebih dari cukup.

 

Dalam gambaran awal, saya membayangkan akan bertemu beberapa puluh orang yang sudah matang usianya. Namun, saya banyak salahnya. Ketika hendak masuk, saat mencari-cari ruangan pertemuan, saya melihat banyak orang mengerubungi sebuah papan tulis putih. Oh, mungkin itu data kelompok. Saya memang kesulitan mengaksesnya lewat ponsel, jadi sepertinya papan tulis itu adalah pos pertama yang harus saya datangi. Saya terkejut melihat daftar namanya seperti melihat daftar lulus SNMPTN (zaman saya dulu sih namanya UMPTN). Banyak sekali barisan namanya. Puluhan kelompok. Saya mencari nama keren saya dengan saksama. Eh, ga ketemu. Cari lagi. Lalu saya curiga dengan kaki-kaki yang terlihat di balik papan tulis. Seriously? Sampai belakang juga ada? Dan akhirnya saya menemukan nama saya di kelompok 41.

 

Saya akhirnya menuju ruangan temu sambil mengingat nomor kelompok, dan jeeeeng ... banyak banget  orangnya. Kaya lagi kondangan. Malah lebih seru karena masing-masing bawa makanan sendiri-sendiri. Ah, jadi ajang Home Made Fiesta NCC. Dan belakangan baru saya tahu, peserta yang tercatat sejumlah 991 relawan. Belum termasuk panitia dan para wakil sekolah yang datang saat itu ya.

 

Saat saya tiba, sedang sesi SKJ. Saya langsung menemukan nomor kelompok saya yang ternyata tepat di depan pintu masuk. Saya salah kostum. Kaos lebar tapi pendek dan celana yang selalu bermula di panggul. Ah, ga bebas ini mau. gerak-gerak. Ya, sudahlah, agak jaim dikit jogetnya. Walau saya sebenarnya agak khawatir perut ga seksi ini bakal terlihat. Tapi karena ga seksi, mungkin bisa mengurangi kadar dosanya?

 

Selain memuji keberanian saya datang sendirian, saya kagum dengan pemandangan di sekitar saya. Banyak sekali anak-anak muda. Beneran deh, walau saya berJIWA muda, kok saya malah merasa tua berada di sekitar para relawan dan panitia. Memang sih, ada yang bapak-bapak dan ibu-ibu, tapi kalau melihat para mas-mas dan mbak-mbak yang saya yakini baru ketemu usia dua puluh tahunan, saya jadi minder. Umur segitu, gue dah apa ya?

 

Ini seperti yang saya rasakan ketika melihat lomba cover dance kpop di Kalibata City. Saya pikir akan melihat pertunjukan joget alay-alay yang lemes-lemes, eh tapi ga loh. Atau ketika ada performance grup beatbox yang dari kaos kupluknya bisa ketebak masih SMU, saya pikir masih ada alternatif untuk para remaja ini untuk membuat kreasi yang positif. Sedikit harapan lah buat saya yang ibu-ibu ini.

 

OK, back to briefing Kelas Inspirasi. Again, selain relawannya saya juga terpaksa bengong-bengong ketika ada sharing dari salah satu Pengajar Muda. Salah satu program Indonesia Mengajar yang mengirim relawan untuk mengajar di pedalaman selama satu tahun. Walau status masih melajang, raihan yang sudah dia capai bagi saya sudah banyak sekali. Ke mana aja gue selama ini?

 

Atau ketika seorang lulusan psikolog yang dalam kalimatnya saat hendak mengajak kita olahraga tepuk tangan, “Berhasil untuk 1500 orang di Afganistan!” Wait, dia sudah ke Afganistan segala buat ngajarin cara presentasi yang fun? Ah, kamu keren.

 

Ya, sekeren salah satu blogger make up yang baru saya lihat beberapa waktu lalu. Masih kenyes-kenyes begitu.

 

Usai empat jam briefing dari jam 1300-1700, saya mengantungi satu informasi. SDN 1 Balimester Jatinegara. Alhamdulillah, dekat rumah. Aku kan datang.

Saya pulang dengan satu pikiran. Malika, Safir, semoga program ini masih ada saat kau remaja nanti, Amy akan pastikan kalian juga berpartisipasi.

Eh, itu pemaksaan ya. Hmm ... amy akan pastikan kalian mendapat informasi yang cukup sebagai wadah kalian berbagi. Karena hidup akan terasa hampa jika tidak berbagi terhadap orang lain.

Selasa, 22 April 2014

Reuni dengan Kantor Pos

Zaman sekarang jika bicara soal pengiriman barang pasti deh langsung nyambungnya ke T***. Apa kabar tukang pos, ya? Saya bahkan masih menggunakan jasa pos untuk mengirim lamaran kerja sepuluh tahun lalu. Pas zamannya lagu "Surat Cintaku", kita biasanya sudah akrab dengan si pengirim pos. Namanya surat akan dikirim oleh petugas pos di area terdekat dengan alamat tuju, jadi wajarlah bisa kenal baik sama petugas pos. Orangnya itu-itu saja kok.
Berbeda dengan layanan antar. Mukanya ganti-ganti. Wong cabangnya banyak begitu. Dan kayanya sekarang ga ada stiker bertuliskan, "Trims Pak Kurir". Layanannya lebih dipilih tapi hubungannya ga seromantis dengan petugas pos. Film "Postman Pat" mungkin sudah ga nyambung sama anak zaman sekarang kali ya. Anak-anak di kota besar di Indonesia terutama.


Waktu kerja saya masih ada lah bersinggungan sama pos Indonesia. Yaitu saat-saat saya menanti buku review dari penerbit luar negeri. Satu hal yang saya kangeni bekerja di penerbitan. Orang luar negeri memang lebih mapan bidang posnya. Jadi kalau kiriman dari luar negeri, saya lebih memilih pos ketimbang jasa kurir, pasti aman. Lain halnya vice versa. Masih belum pede kirim ke luar negeri pakai pos, habis citranya kadung buruk.

Papa saya dulu juga bekerja di kantor pos di ... Belanda. Bukan sebagai petugas posnya, melainkan sebagai karyawan pos yang bertugas menyortir surat sesuai daerah tujuan. Kerjaannya buruh, tapi masih dikasih tunjangan flat tuh. Dan sekarang menikmati uang pensiun bulanan dari sana. Kalau petugas pos Indonesia bagaimana?

Oke kembali ke pos Indonesia. Sebulan ini saya akhirnya reuni sama pos berlogo orange ini. Apa pasal? Ikutan undian. Halah. Itu loh undian Indomilk pergi ke Legoland. Saya sih tahu 'tangannya bau' untuk urusan undian. Cuma berhasil waktu hamil Malika, ya dapat doorprize video cam, voucher tas bayi yang masih dipakai sampai sekarang, tiket nonton, dll. Seumur hidup, saya jarang beruntung untuk urusan beginian. Tapi karena toh barangnya emang diminum sama anak-anak ya saya iseng saja ikutan. Alasan lain adalah karena alamatnya PO BOX. mau ga mau harus ke kantor pos dong. Ide PO BOX ini mungkin jadi salah satu investasi yang paling berhasil buat Pos Indonesia. Telegram sudah punah, wesel rada sekarat kalau tidak ditopang dana pensiun, PO BOX yang rada gaya dikit. Walau ga sering, tapi masih ada saja undian yang mengharuskan mengirim kemasan. Hmmm ... Mungkin saja beberapa tahun mendatang PO BOX ini jadi ga efektif karena tergusur sama lomba selfie yang modal media sosial. Makanya saya makin semangat kumpulinnya. Setidaknya bisa jadi saksi sejarah pos (apa sih?).

Nah di Kalibata City ini cuma ada satu kantor pos. Gabung sama jasa travel. Tapi kalaupun ada orang yang ngantri di dalam sana, buat urus tiket. Sedangkan petugas posnya duduk kebosanan hehehe ... Saya sudah suudzon aja, bahwa penanganannya bakal jadul. Kira-kira harus beli perangko yang harga berapa ya? Lumayan bisa kasih tahu ke Malika n Safir soal perangko. Eh, rupanya sekarang modelnya kaya T*** gitu. Diketik, di print. Jadi kita punya notanya. Dulu kan suka ga mau pakai pos karena tidak bisa dipertanggungjawabkan. Petugasnya sendiri bilang, perangko kian sulit dicari. Wuih, mulai langka. Inget gak sih, zaman dulu di koran selalu ada update seri perangko? Jadi mungkin sekarang posnya hanya perlu cap seharga Rp5000,-. Mungkin ga diplastikin seperti T***, makanya saya sudah tulis dengan bolpen, biar ga luntur. Maklum, undian sih, setidaknya harus benar-benar sampai ke tujuan. Dan ... Menang ... Amiin.

Hmm ... Kira-kira mau kirim apalagi ya via pos?

Minggu, 20 April 2014

Amy's Story: Serasa Punya Tiga Anak

Per tanggal 31 Maret lalu, abang pertama saya akhirnya bisa liburan ke Jakarta lagi bersama istri dan anaknya setelah tiga setengah tahun tidak pulang-pulang dari negeri One Direction. Dari dua puluh harinya mereka, orangtua saya kebagian ketemu cucu di seminggu pertama. Yah, namanya juga punya mertua, harus dibagi-bagi kebersamaannya.  Saya memboyong anak-anak ke Tebet, Malika libur dulu sekolahnya biar bisa main sama si kakak Khansa tanpa harus bolak balik, lumayan ongkosnya Bos.

Biasanya menginap di Tebet ada satu kelebihan, ada abang saya yang kedua. Setidaknya tugas saya menemani bocah-bocah main tidak terlalu melelahkan. Namun, sejak abang saya itu memiliki pekerjaan tetap alias kantoran, praktis privilege itu jadi berkurang. Jadi, adalah saat-saat di mana saya berada di antara tiga bocah dan salah satunya berbahasa Inggris.

Dulu, kala ada orang yang bilang, "punya satu anak aja repot. Aktif banget anaknya." saya akan berujar sendiri, coba deh punya dua baru berasa kalau punya satu anak itu lowong waktunya. Nah, sekarang saya dikerubungi tiga bocah. Ok, pusing ngobrolnya.

Kalau saya beri kegiatan aktivitas, Khansa anteng, Malika harus disupervisi, Safir? Terabaikan. Pertama, kegiatan aktivitasnya ga selevel. Kedua, Safir juga sebenarnya perlu disupervisi, tapi karena mungkin saya lebih condong ke Malika, dia biasanya nontonin saja, atau menghancurkan lembar aktivitas-yang juga harus diberi reaksi/ekspresi menghargai, atau kemudian dia main yang lain. Ga papa deh, selama ga nangis.

Pernah saat Ibunya Khansa bertemu janji dengan temannya di Oakwood, saya bawa anak-anak melihat air mancur kecil di lantai bawah. Ya, karena hanya ada air mancur sebagai hal yang mendekati hiburan anak, jadilah itu yang kami jadikan mainan. Awalnya, main titian air mancur itu. Tiga anak dengan speed fisik dan otak yang berbeda.

 Setelah beberapa kali, Khansa mengupgrade level permainan, dia membuat kuis. Hal yang membuat dia bisa melawan bosan secara efektif sepertinya. Permainannya adalah menyebutkan sebanyak mungkin nama hewan laut di setiap tingkat air mancur itu. Air mancur itu memanjang, yang mancur hanya di satu sisi, selebihnya air mengalir yang dibuat berjenjang.

Oleh karena Khansa berkomunikasi dengan bahasa Inggris, saya berdiri lebih dekat ke dirinya agar saya bisa menangkap penuh perkataannya dan kemudian mengomunikasikannya ke Malika. Jadi ketika saya dan Khansa berlomba menyebut nama-nama hewan laut, Malika beberapa langkah di depan berteriak, "fish! Fish!fish!" Dia mah pede aja yang penting nimbrung. Safir? Ngacir ke jalanan. Hiyaaaa!!!!

Atau ketika kami berempat sedang ngobrol-ngobrol di rumah. Saya meladeni dua gadis bicara dengan dua topik berbeda dan bahasa yang beda pula. Khansa seperti biasa membuat kuis, di mana saya harus buat pertanyaan. Malika sibuk tanya ini itu. Tahu-tahu Safir berucap, "Amy ga boleh ngomong sama kakak Khansa."

Mendengar ini Khansa langsung cemberut, "it's not fair." Akhirnya dibuatlah percakapan ga jelas ritmenya untuk tiga bocah.

Atau ketika mereka bertiga main ayunan. Ada dua yang minta didorong, tapi letaknya tidak berdekatan, jadilah saya olahraga. Kalau tidak sengaja mendorong yang tidak mau didorong, kena rengekan deh si Amy. Dua anak sepertinya cukup =)

Ah, ya, tapi cuma itu saja kok. Kebersamaannya singkat rupanya. Belum lagi si Amy PMS ^^'. Masih ingin main lagi sih, terlebih sudah kelar masa PMSnya, tapi yah sepertinya masih harus diusahakan rezekinya. Si Olaf itu kembali ke UK hari ini. Walau sudah tidak ketemu sejak sepuluh hari lalu, tapi tahu bahwa mereka sudah akan pergi lagi, saya menghela napas juga.

Yah, nanti ya Malika. Mungkin ketika Malika sudah bisa bilingual bahasanya, ada lagi rezeki bagi kita bertemu ampunwa Nurul, bude Ita, dan kakak Khansa =)

Sabtu, 19 April 2014

Seandainya Semua Tinggal di Kalibata City

Tidak perlu di tower yang sama, Bang. Mungkin di tower seberang agar kami bisa mampir jelang sore di akhir pekan untuk sekadar minum teh atau berbagi kue resep baru. Atau menodong komik baru untuk kubaca. Basa basi yang kemudian mengantarmu ke rumahku, membereskan semua yang rusak yang tadi aku ceritakan.  Tidak perlu menunggu tahunan dan tiket puluhan juta untuk urusan stem gitar.


Seandainya yang tinggal di samping unitku bukan gerombolan penghibur amatir tapi kamu, Kak. Pasti aku terbiasa bertelanjang kaki mengetuk pintumu subuh-subuh untuk meminta sedikit bawang merah. Tidak perlu menunggu usai semua jadwal anak sekolah.  Aku tahu pasti tidak akan menerima segenggam bawang melainkan lauk siap makan untuk beberapa hari mendatang.


Seandainya kau tetap menjadi seorang pekerja lepas, Bang. Yang setiap kali aku tidak enak badan, akan meneleponmu dan kamu akan datang. Tidak hanya untuk menemani anak-anak tetapi juga merapikan semua yang tidak bisa aku sentuh. Saat ketika aku merasa kau orang paling flexibel sedunia. Ah, mungkin itu akan segera berakhir ketika si jodoh datang.


Tapi tak ada yang selamanya ada. Jarak dari kamar ke kamar yang kemudian menjauh menjadi rumah ke rumah bahkan negara ke negara adalah bukti bahwa hidup adalah dinamis. Terkadang aku merasa tidak terbiasa. Inilah si bungsu yang selalu membawa kalimat permintaan setiap kali dia melongokkan kepalanya di pintu kamar kakak-kakaknya.

Tapi mungkin benar kata orang, jika dekat saling bermusuhan, saat jauh saling merindukan. Well, kami tidak pernah benar-benar bermusuhan sih, tapi yah mungkin Tuhan hendak menjaga romansa di antara kami. Ah, sok teu deh kamyuuu ....

*Dan aku kembali dalam lamunan hampa.

Jumat, 18 April 2014

My Story: Being Flexible in Marriage

Sometimes I get upset when I was trap in a condition where flexibility was hard to get. Sometimes it was me, sometimes it was someone elses. A moment when I would breathe a sigh and talk to myself, "This is what happen when you married." well, I would said it in many varieties of tones. From the upset tone till the let it go tone.

For example, when I need to meet some friends with the kids. I prefer it at someone's home rather than in a mal. When it has to be in a mal, then I prefer a place with a playground, so it won't get the kids bored or being out of my sight area. You want a nice n relax chit chat with your friends, right? Especially when you don't bring your husband along.

Asking my husband to handle the kids alone is also another discussion. Is it weekdays or weekend? How long will it be? In my experience, I shouldn't be in the same area with them or you will be caught by them. And my schedule is in a lower level than his job, so .... Yeah .... Thank God, he has no job on the weekend. Not always =)

Sometimes it would be easier when I don't have to bring my husband along. At least there are no discussion about the distance, the place, or the relation between me, my friends, and him. Again, this is what we call marriage =D

After everything is fix. Then I need to wait the other side is fix too. Fiuh ...

 Don't want to assume it a burden actually, just need to practice my strategies. People said you need to have plan a, plan b, and so on, so there will be no such thing as failure. You can always do something else to have fun. Or for many people, doing nothing is a great pleasure.

Have a great long weekend everybody. =)


Kamis, 17 April 2014

Pelaku Kejahatan Seksual Baiknya Diapain Ya?

Lagi ramai petisi menghukum pelaku kejahatan seksual seberat-beratnya. Saya belum menandatangani petisi tersebut karena sedang memikirkan apakah hukuman yang pantas bagi seorang pelaku kejahatan seksual.

Saya pun melakukan mind mapping. Halah. Yang saya pertanyakan adalah apa sih fungsi penjara? Mengurung orang? Then what? Makan gratis kok. Ga bakal mati kelaparan lah para napi itu walau katanya satu sel umpel-umpelan. Ini seperti memenjarakan mereka yang ngaku-ngaku nabi atau malaikat. Keluar dari sel, ya mereka masih ngaku, dijemput pula oleh pengikutnya. Ide tidak akan pernah mati walau terkukung penjara, Soekarno sudah membuktikannya. Sama halnya dengan nafsu. Penjara tidak akan mampu menghilangkan kemampuan si nafsu memerintah kelamin laki-laki.

Dan mungkin seharusnya diberlakukan hukuman yang tepat sasaran seperti pemiskinan para koruptor. Para koruptor tidak takut dipenjara, mereka takut miskin, makanya nyari duit melulu. Jadi apa yang ditakutkan para pelaku kejahatan seksual? Gue berharap jawabannya adalah disabilitas ereksi. Dan karenanya saya menyarankan bentuk hukuman sebagai berikut:

1. Santet. Bukankah sering kita dengar ada santet salah satu suku di Indonesia yang melibatkan disfungsi ereksi pria? Yang konon si kelamin itu tergantung di daun pintu dan tidak akan mampu ereksi selain dari pemilik daun pintu tersebut? Nah, mungkin para dukun santet itu perlu memodifikasi santetnya agar si pelaku kejahatan seksual hanya bisa ereksi kalau melihat pohon karet dibolongin.

2. Cambuk. Cambuk kelaminnya. Biar nyeri tujuh turunan. Korban kejahatan seksual itu harus menanggung beban emosional seumur hidupnya. Enak aja pelakunya keluar lima tahun penjara, petantang petenteng, tidak kurang satu apa pun. Yah, kalau ga bisa dikebiri, cambuk ajalah, tiap hari dua puluh cambukan selama masa penjara. Biar nyerinya selalu terasa setiap kali dia jalan.

3. Diasingkan. Ke pulau Komodo. Biar dimakan komodo. Doyan ga mereka?

Again, saya masih lebih suka ide mengiris kelamin dengan parutan singkong. Rada sadis yak. Tapi pemerkosa itu adalah orang paling sadis sedunia. Hingga saya bahkan bingung harus menghukumnya seperti apa. U_U

Rabu, 16 April 2014

Bagaimana Mencegah Anak Menjadi Pelaku Kejahatan Seksual

rating 16: this note contains indecent language.
Itu masih pertanyaan besar bagi saya. hari ini kepala saya pusing membaca berita tentang kejahatan seksual yang terjadi pada anak laki-laki usia TK di sekolah yang selalu bikin macet pagi-pagi karena satpamnya segambreng, plus selalu ada polisi, saya juga pusing membaca tanggapannya dari berbagai pihak perihal mencegah kejahatan seksual terjadi pada anak. Belum lagi berita soal ditangkapnya seorang manajer bertitel s2 yang punya ribuan foto porno anak hasil tipu-tipu di FB.  Dari keriuhan itu, saya selalu bertanya sendiri, "what was on his mind?" Si pelakunya, maksud saya.

pedofilia atau tidak, saya suka tidak habis pikir sama para pemerkosa itu (termasuk yang pakai dalih suka sama suka), apa mungkin ada fase dalam hidupnya dia beralih dari manusia menjadi setan? Sama halnya jika membaca keadaan di Afrika yang tengah konflik. Anak-anak melahirkan anak-anak hasil pemerkosaan yang kemudian ketika si anak hasil pemerkosaan itu beranjak remaja, dia juga jadi pemerkosa dan saudara perempuannya menjadi korban pemerkosaan. Lingkaran setan banget. Padahal ibunya pasti ga ketawa ketiwi pas gedein anaknya, dan bapaknya pasti ga tahu ada di mana, jadi kenapa bisa terulang terus kejahatan ini?

Saya punya dua anak. Sepasang. Yang perempuan, saya doakan agar bebas dari kejahatan semacam ini. Dihindari dari sebuah peperangan di mana perempuan kian tak bermakna. Yang laki-laki, entah kenapa saya berdoa semoga dia tidak menjadi pelaku kejahatan seksual. Mungkin ada hubungannya ketika saya hamil Safir. Hormon testosteron saya mungkin bertambah, karena selama masa kehamilan itu saya selalu membayangkan tentang seks. Dan bukan terhadap si bapaknya anak-anak. Saya sendiri ngeri tapi bayangan itu memborbardir pikiran saya tanpa diminta. Saya bingung. Okelah, saya dulu pernah mengkonsumsi pornografi tapi kadar yang terpapar di pikiran saat hamil tidak sedahsyat dulu. Apa mungkin memang ada hubungannya dengan hormon? Apakah mungkin inilah yang dihadapi laki-laki sejak dini? Menahan gejolak hawa nafsunya sendiri?

Bukankah mimpi basahnya lelaki adalah pornografi alami nan legal? Sesuatu yang menunjukkan sosok lelaki secara fitrah. Dan anugerah bagi mereka bisa memimpikan berhubungan seks dengan wanita-wanita entah siapa. Jadi bagaimana si tulang rusuk bisa bersaing dengan tongkat tak bertulang? Konon karena tulang rusuk agak bengkok maka harus pelan-pelan meluruskannya, lalu bagaimana dengan kelamin pria? Selurus apa pun itu, tidak pernah menjadi tegang jika mengingat akan shalat. Well, mungkin ingat untuk ibadah malam Jumat.

Saya jadi ingat ada teman saya yang blak-blakan ngiler liat anak SMP. Konon karena sudah ada pertumbuhan bagian tertentu tapi. kelakuan masih kaya anak SD. Saya bergidik sendiri dengarnya, dia punya anak perempuan loh dan dia bukan cowo perayu wanita tapi bisa-bisanya mikir begitu.



Jika memang begitu, bagaimana cara mendidik seks pada bocah lelaki dari mulut perempuan? Itu dunia yang sama sekali berbeda. Mungkin itulah sebabnya peran ayah besar di sini. tapi kebanyakan lelaki suka dirty talk ke sesamanya. Ah, saya bingung lagi.

Dan tahu-tahu dapat tebaran kicauan gadis di medsos soal kebenciannya sama bumil yang meminta hak untuk duduk, rasanya pengen gue gebok. Eit, sabar ... Sabaaar ....

 Aih ... Anak-anak ... Doakan Amymu bisa terus memanjangkan doa selamatnya untuk kalian semua ....

*amy pusing, mau detoksifikasi dulu dari efek berita negatif

Jumat, 11 April 2014

Seandainya Bisa Operasi Plastik

Sejak kecil saya selalu berkhayal menjadi seorang penyanyi terkenal. Jika di awal-awal khayalan saya hanya membayangkan difoto sana sini, seiring dengan bertambahnya umur saya pun menambah adegan permak di dalamnya. Apa yang akan saya permak jika saya jadi orang terkenal. Dulu saya membayangkan sebuah make over luar biasa. Akibat nonton telenovela Maria Mercedes nih. Kini, lain lagi ceritanya.

Hal ini sejalan dengan percakapan saya dengan teman terkait sebuah acara bertajuk K-Style di starworld. Teman saya takjub ada yang melakukan make over bedah plastik yang bukan lagi bicara soal kerutan atau kelopak mata tetapi hingga operasi tulang. Bedah plastik yang melibatkan rekonstruksi ulang tulang ini bukan hal baru bagi saya. Dulu pernah ada lomba bedah plastik bagi mereka yang merasa tidak cantik. Buatan Amerika tapi kini di Korea pun ada acara serupa. Kompetisi yang konon membantu para wanita agar lebih percaya diri. Kalau lihat daftar permaknya, gila banget.

Saya jadi ingat saat di Kalcit Square ada sebuah produk bulu mata asal Korea membuka tenant di bagian tengah mal. Begitu melihat model di bannernya, alis mata saya terangkat. Gadis muda ini sudah melakukan operasi joker smile. Sebuah bedah plastik yang melakukan sayatan di tiap ujung bibir demi membentuk senyum lebar ala joker. Serem, yak.

Lalu saya kembali ke khayalan saya, apa yang mau saya permak?

Walau mama saya galak, tapi dia masih sempat-sempatnya mengatakan bahwa saya dan kakak saya adalah gadis yang cantik. Rambut ikal panjang, bibir berbelah, bulu mata panjang nan lentik- ehem kebetulan yang disebut adalah yang menurun dari mama saya hehehe. Not to mention kulit putih dan hidung mancung. Well pujiannya rada bertambah jadi ledekan ketika saya memasuki masa sewindu jerawatan. Toh, walau saya bukan anak yang percaya diri sekali, saya menyadari diri saya cantik. Cuma, kalau jadi terkenal rasa ada yang ingin saya perbaiki ....

LASER WAXING sejak beranjak remaja, urusan bulu jadi masalah buat saya. Maklum bulu saya ada di mana-mana apalagi di kaki. Bersaing dengan abang saya. Dulu mama saya bilang bulu kaki itu akan rontok sendiri, seperti dirinya. Tapi rupanya hal itu tidak kunjung terjadi. Dicukur, makin tebal. Diwax, hadeuh males ke salon. Jadi rasanya kalau jadi orang beken, ingin menggunakan laser yang digunakan Victoria Becham untuk menghilangkan rambut di tubuhnya secara permanen. Ide ini sudah ada sejak saya SD, rupanya memang benar ada alatnya sekarang.

PERMAK KULIT WAJAH Dulu waktu jerawatan, ingin banget masuk ke sebuah salon yang kemudian keluar-keluar sudah mulus kinclong. sekarang sudah ga jerawatan lagi, tapi pori-pori wajah saya besar. Namun ketika bertambah usia, pori-pori yang dulu menjadi sebab muka saya seperti tambang minyak goreng bocor, malah menjadi pelembab alami. Cuma, kudu difacial sesekali lah biar ga komedoan.

KONSTRUKSI BADAN Pernah terpikir perlu ga konstruksi badan? Terutama ketika habis melahirkan ga jelas gini. Selamat tinggal masa kejayaan ketika kurus, perut rata, lengan atletis kaya Michele Obama, walau paha tetap aja besar. Tapi kayanya operasi plastik juga bukan jawaban permanen kalau soal body. Kalau ga olahraga, sama juga bohong. Yah, urusan olahraga perlu komitmen tingkat tinggi nih. *ngelirik bodyslender nganggur.

SULAM ALIS & BIBIR bentuk alis saya memang berantakan. Pendek garisnya tapi tebal, jadi kudu artistik dikit membentuknya. Oleh karena tidak telaten, saya lebih sering membiarkannya awut-awutan. Konon sulam alis bisa membuat alis lebih rapi tapi saya rada ga ngerti cara kerjanya. Saya pikir sulam alis itu terkait pencabutan alis dengan benang. Tapi kayanya bukan. Maklum, saya ga mau mengambil metode-metode yang ga syar'i seperti tato alis.
Hal serupa saya inginkan untuk bibir. Bibir saya hitam. Dulu sih ga. Bukan karena merokok, sudah ga merokok hampir 10 tahun. tapi memang ada orang bibirnya menghitam seiring usia. Katanya sulam bibir bisa menghilangkan hitam-hitam di bibir. Well, ada cara alami sih pakai madu. Again, malas dan pelupa hehehe ....

Kalau diperhatikan sih sepertinya saya bukan perlu operasi plastik, tapi perawatan di salon lebih intens hehehe ... Dulu saya pernah merasa galau, kok cantik-cantik begini ga punya pacar. (sombong kok galau). Saya melirik sembarang orang sambil berkata dalam hati, yang ga secantik saya saja bisa punya pacar. Yang menarik adalah, orang yang saya perhatikan ini duduk di kereta berdampingan dengan si cowo dan ada teman perempuannya yang lain. Jadi si cowo diapit dua cewe. Saya bisa tahu yang mana si pacar, walau sejoli itu tidak sedang mesra-mesraan. Well, yang pasti yang terlihat lebih cantik. Bukan fisiknya. Tapi sekadar jepit rambut manis atau mungkin semburat merah di pipinya. Hal yang kemudian membawa saya pada kesimpulan bahwa semua wanita itu cantik, terutama yang jatuh cinta.

Serupa dengan moto saya yang lain, bahwa semua orang bisa menggunakan pakaian yang sama, tetapi tergantung pribadi sendirilah yang kemudian mampu mengeluarkan kecantikan yang berbeda-beda. So, be beautiful, feel beautiful, act beautiful, coz women are the Gods of beauty ...

OM SOPIR

M: Malika suka om sopiiir.
A: kenapa?
M: soalnya om sopir bawa mobil. Ke mana-mana dianterin om sopir.
Ya iyalah bawa mobil, kalau bawa pesawat namanya pilot. Itu komentar dalam hati saja sih. Malika ini emang suka banget sama sopir. Sopir apa saja. Berhubung ga punya mobil, jadi semua sopir dari taksi, angkot, bajaj, mobil sewaan, sampai orangtua temannya. Pokoknya yang pernah disopiri baik yang dibayar atau tidak alias nebeng.
Kedengarannya lucu-lucuan saja, tapi kalau disimak lebih mendalam mungkin saya yang jadi diingatkan untuk berterimakasih lebih tulus pada para sopir itu.

Saya sendiri memiliki banyak pengalaman pertemanan dengan para sopir. Semua punya cerita sendiri. Ada yang teman sekolah. Bahkan setidaknya ada dua teman saya yang menjabat sopir. Teman akrab loh, bukan sekadar kenal. Yang satu jadi sopir bajaj setelah sebelumnya menjadi ABK untuk kapal Rusia. Pengen juga ngerasain disopiri bajaj yang sudah sering ke luar negeri. Saya saja baru sekali. Sayang, dia malu menampakkan dirinya. Beraninya ngobrol lewat telepon saja hehehe ....

Lain lagi dengan nasib teman saya yang lain. Sempat mengenyam kuliah tapi rupanya selain faktor ekonomi dia juga tidak berbakat kuliah. Oleh karena sering dijadikan 'sopir' oleh ibu dan adik-adiknya, dia lebih memilih lowongan sopir perusahaan. Dan sepertinya dia juga tidak berpikir akan merambah karier dari situ. Saya sih sayang saja, dia sopir yang fasih berbahasa Jepang.

Bicara soal sayang, saya pernah berpikir bahwa pekerjaan sopir ini adalah pekerjaan membuang waktu dan sumber daya. Ini yang saya pikirkan ketika melihat gerombolan sopir di pinggir jalan atau di lahan parkir. Sebagian besar dari mereka nongkrong, merokok, atau tidur di mobil. Saya memikirkan nilai waktu yang bisa ditingkatkan jika mereka memiliki tablet murah untuk ... Ngeblog, mungkin? Siapa yang tahu potensi itu ada jika terus membuang waktu menunggu. Bukankah itu pekerjaan yang membosankan? Setidaknya bagi saya.

Namun lain ceritanya ketika keluar dari bibir salah satu sopir perusahaan tempat saya bekerja dulu. Dia dulu pernah menjadi sopir pribadi. Sibuk. Antar anak sekolah, lalu ke kantor si bapak, habis itu jemput ibu nyalon atau belanja, jemput anak sekolah, antar les, antar si ibu arisan, jemput bapak kerja. Capek banget katanya. Apalagi tidak disediakan makan di rumah. Nasibnya tidak lebih baik dari asisten rumah tangga. Yah, jalanan Jakarta memang keras.

Salah satu om saya pun menjadi sopir antar jemput sekolah. Mobil carry nya menjadi satu-satunya harta yang kemudian terpinggirkan sedikit demi sedikit karena sekolah memiliki fasilitas antar jemput yang lebih profesional. Mobilnya dimodifikasi tidak karuan. Dan akhirnya om saya itu pensiun tanpa dana pensiun sama sekali.

Saya jadi ingat pengalaman beberapa kali dengan sopir sewaan. Saya sendiri yang pusing memikirkan si sopir makan apa. Dan merasa bersalah jika lupa membelikan makanan atau minuman untuk si sopir. Walau konon bayaran untuknya sudah termasuk di dalamnya. Atau sopir sewaan saat mudik. Saya agak miris ketika dia mengatakan biasa tidur di mobil. Tidur ayam mah boleh, tapi tidur dari malam sampai pagi? Apalagi tujuan mudiknya bukan daerah kekuasaan saya jadi saya terpaksa elus dada ketika melihat si sopir tidur beralas tikar tipis di lantai. Maaf ya ....

Pekerjaan sopir memang serba salah. Saya pernah memberhentikan taksi saat magrib dari depan sebuah masjid. Rupanya taksi itu sejatinya hendak shalat di masjid tapi dia antara kasihan dan kebiasaan kerja, dia membiarkan pintunya saya buka. Dalam perjalanan saya komat kamit semoga si sopir tetap bisa menunaikan ibadah pada waktunya.

Itu pun bagi mereka masih lebih mending daripada sopir transjakarta yang bahkan untuk buang air kecil pun tidak bisa demi mengejar ketepatan waktu. Jadi, bagi yang mengeluh transjakarta yang terlambat, percaya deh, bukan telat karena si sopir buang hajat. Beda dengan sopir taksi yang jika lelah bisa meminggirkan mobilnya dan tidur. Pipis di semak-semak atau tembok-tembok terabaikan. Toh, masih sering juga ketemu sopir ngantuk.

Begitu sedang iba eh ketemu sopir metro mini. "Gue sehari bisa nyimpen 15 rebu. Lima rebu buat pulsa. Lima rebu buat makan. Lima rebu buat minum-minum." Pengen gue kemplang niy sopir. Miskin aja mabok.

Saya sering lupa siapakah sopir ini. Saya terbiasa tidak membaca nama sang sopir taksi yang jelas-jelas terpampang di sana. Kalaupun dibaca untuk kepentingan waspada. Padahal mungkin mereka termasuk jarang mendengar namanya dipanggil selama bekerja. Panggillah namanya, demi Memanusiakan sopir

Terlebih ketika lebaran tiba. Saya yang biasa tinggal panggil satpam di lobi untuk memanggilkan taksi di luar, ternyata harus menelan kenyataan bahwa sopir juga manusia. Lebaran pagi di Jakarta berarti jalanan kosong. Tidak ada taksi, angkot, bajaj, bahkan ojek. Yang abal-abal pun juga tidak ada. Mereka juga tidak mau meninggalkan berkumpul dengan keluarga di hari fitri. Ya, walau banyak sopir tidak puasa, tidak mengikuti pemilu, tidak ikut libur panjang, demi mengejar setoran tapi mereka tetap memilih ketupat yang tersaji di rumah.

Ah, sopir, nasibmu .... Saya harus belajar lebih banyak dari Malika, rupanya.

 Have you say thank you to your driver?

Rabu, 09 April 2014

Golput yang Ga Golput di Pemilu 2014

Akhirnya nge-blog lagi. Habis lihat grafik pengunjung yang sudah ngepel batas horisontal. Tulis yang enteng-enteng dulu lah, kaya pemilu 2014.

Sebenarnya kalau ditanya, saya bertahun-tahun golput. Namun, tetap datang ke tps. Biasanya hanya untuk merusak surat suara. Pan katanya kertas suara bisa disalahgunakan, ya sudah, saya coblos saja banyak-banyak. Kalau perlu buat motif =P.

Tahun ini juga masih golput. Pusing lihat fb war isinya politik melulu. Lebih senang lihat status yang ingin golput ketimbang yang promo, black campaign parpol-parpol. Toh, saya tetap datang ke tps. Buru-buru meninggalkan bocah-bocah di Kalibata sama ayahnya supaya bisa meluncur ke Kalibata. Oleh karena sudah kadung terdaftar di Tebet, saya ya ke tps Tebet. Biar ga terdaftar ganda.

Siang ini panas sekali. Pawang hujannya semangat sekali rupanya. Sebelum masuk, saya ke bagian samping dulu. Lihat-lihat caleg. Baru kali ini lihatnya. Mau sembari nge-google dah pusing kena terik matahari. Ya sudahlah, kita gunakan ilmu selfie. Konon foto selfie memiliki efek lebih besar untum keterkaitan emosi. Baiklah, saya pun memandangi satu per satu.

Partai sekarang lebih sedikit rupanya. Saya mencari caleg parpol-parpol Aceh, eh mungkin cuma ada di Aceh. Sudah tidak ada parpol berbasis agama. Well, berbasis agama Islam sih ada, tapi berkurang drastis, tapi yang basis agama lain sudah tidak ada. Baguslah, ga siwer matanya.

Ternyata kalau diperhatikan caleg itu cuma sampai nomor urut 7-10 ya. Tapi kok ya yang lulus macam si R itu? Kurang orang atau kurang duit? Saya sih lebih senang memerhatikan caleg DPD karena ga ada parpol-parpolnya. Cuma ... Kok ya ga ada yang kenal. Cuma satu. Itu pun dah tua. Aih, bapak ... Pensiun sajalah ... Oia, anggota dewan kan ga dapat uang pensiun. 

Selebihnya cari caleg perempuan saja. Yang konvensional, biar ga jadi anggota dewan yang menceraikan suaminya pasca terpilih. Agak terpikir juga siy sama orangtua teman Malika yang caleg, suka ninggalin tiga anaknya di apartemen lt 21 tanpa pengasuh, bo! Intinya sih, males aja lihat selfie-selfie bapak-bapak. Kok ya ga mengenin gitu ...  Yang ibu-ibu ga pakai kerudung tapi jadi pakai kerudung karena kepentingan foto plus dandanan heboh, sorry ... Ga minat.

Ketika masih bingung juga memilih di antara dua caleg dari parpol sama-ga suka juga sih sama parpolnya, saya pilih yang nomor urut akhir. Kasihan. Suaranya suka dilego buat nambahin kuota yang nomor urut awal-awal.

Ah, sudahlah. Yang penting saya pilihlah. Kata spanduk gede hijau di pancoran, "orang Islam pilih partai Islam. Ingat saudaraku, kalian harus mempertanggungjawabkan pilihan kalian di hadapan Allah Swt." yeah, right. Bete banget lihat spanduk itu. Harusnya tempelin tuh ke jidat caleg-caleg.
Eniwei, saya suka akhirnya bilik suara menggunakan karton. Dari dulu bingung, ngapain juga pake kaleng-kaleng rombeng itu. Kudu beli gembok segala. Gede-gedein anggaran saja. Habis itu penyok seketika. Penuh-penuhin tempat penyimpanan. Pokoknya ga praktislah.

Begitu melihat bangku saksi, kenapa sekarang sedikit banget ya? Ga ngikutin isu ini nih. Di tps saya tadi hanya satu orang mengisi empat kursi plastik kosong. Ibu-ibu paruh baya pulak.

Lalu tibalah giliran saya, eh sekarang ga contreng lagi ya? Kembali ke coblosss ... Rasanya gatal ingin selfie di bilik suara. Tapi ... Kan katanya ga boleh. Ga ada aturan tertulis sih.

Ya suds, kewajiban saya tuntas. Saya sih tidak bisa mengendalikan apa yang akan terjadi kemudian. Mau koar-koar sampai kering tenggorokan juga ga bakal ada anggota dewan turun karena didemo. Eh, pernah ada deng, yang ketahuan nonton situs porno ituuh ..

Sementara itu di Kalibata terdapat kenaikan yang sangat signifikan. Dan sebagian besar belum mendaftar. Sayang, baru dibuka pendaftarannya jam 12 siang. Akhirnya jam tiga sore tadi masih sibuk mencoblos. Kebayang kan ada ribuan suara yang nganggur di sini.

Sementara itu melihat status mereka yang terpaksa golput karena bekerja, karena dirawat di rumah sakit, dan sebagainya, saya rasa persentase golput karena memang ilfil cukup berkurang. Maybe ....

Lang leve Indonesié =D

Selasa, 01 April 2014

Tak Permah Ada Kata Terlambat

Kapankah waktu yang tepat untuk menjadi seorang pemimpin? Sedini mungkin? Lalu siapa sajakah yang pantas menjadi seorang pemimpin? Mungkinkah semua orang mampu dan pantas menjadi seorang pemimpin?

Kapan dan siapa. Itulah dua jenis pertanyaan  yang sering saya ungkapkan di benak saya. Bagaimana tidak, saya 'hanya' seorang ibu rumah tangga. Saya memang pernah merasakan membawahi atau mengatur beberapa orang di dunia profesional, tapi kini tanpa tugas kerja tertulis seperti sekarang ini saya seperti gamang.

Sebagai orangtua, saya menyadari harus membangun sikap kepemimpinan pada anak-anak sejak dini. Namun, guru terbaik bagi anak-anak adalah orangtua dan sebaik-baiknya nilai adalah yang terlihat oleh mereka, bukan yang terucap. Itu artinya, saya pun harus bersikap sebagai seorang pemimpin. Dan itu ternyata sulit.

Sebagai bungsu yang dibesarkan sebagai bungsu, saya memiliki kepribadian yang sepertinya dimiliki banyak bungsu lainnya, kreatif tapi tidak aktif. Alias pasif. Kalau tidak disuruh, tidak dikerjakan. Kalau tidak tahu, tidak mau bertanya. Kalaupun bertanya, harus yang mampu menyelesaikan masalah dengan segera. Bahkan kalau perlu meminta orang lain yang maju dan memperbaikinya.

Setelah puluhan tahun dengan karakter itu, mampukah saya menjadi seorang pemimpin?

Rhenald Kasali dalam suatu kesempatan wawancara mengungkapkan bahwa seorang pemimpin adalah seseorang yang mampu memancing bawahan atau rekannya menembus batas nyamannya. Saya terlalu bersemangat mengaplikasikannya pada anak usia dua tahun. Hasilnya? Tentu tidak berhasil. 
Rupanya anak kecil itu harus diberi tahu terlebih dahulu bahwa tidak apa melakukan kesalahan. Lupa itu wajar. Jika gagal, ya diulang lagi. Urutan yang sedikit berbeda dengan orang dewasa. 

Saya ingat catatan pengajar di sekolah anak saya, bahwa Malika selalu meneriakkan jawaban untuk pertanyaan yang bukan miliknya. Hal serupa terjadi ketika dia berhadapan dengan adiknya yang hanya terpaut 19 bulan. Dia merasa tertekan dengan jawaban salah.

Saat itulah saya mengubah metode pemecahan masalah saya. Saya mencontohkan beberapa simulasi aksi yang gagal, sebelum akhirnya berhasil meraih tujuan. Pada saat itu, yang dipelajari anak adalah bagaimana saya mengatasi hambatan secara emosional. oleh karena saya menjalaninya dengan bercanda, baik Malika dan Safir lebih berani berbuat salah walau sudah diberi contekan beberapa kali. Tak apa. Akan ada waktunya saya mengajarkan standar kesalahan. Dan itulah sedikit dari banyak PR saya sebagai orangtua. Sekali lagi, saya masih tidak menganggap diri sebagai pemimpin.

Dan jika suatu hari anak-anak saya menjadikan saya sebagai acuan semangat kepemimpinan, maka itulah pengakuan sejati. Sementara itu, walau saya berada di garda ujung untuk menjadi seorang pemimpin, orangtua sejatinya adalah contoh pertama dari sikap kepemimpinan, saya masih harus banyak belajar. Harusnya belum terlambat mengejar ketertinggalan. Demi mencetak generasi muda dengan semangat kepemimpinan yang tinggi. Generasi yang berpikir panjang sebelum bertindak. Generasi yang mandiri. Sejak dini.