Kamis, 14 September 2017

KAMYStory: Tips Emak-emak Jadi Seksi Dokumentasi Sekolah


Sebenarnya ga tips banget sih, ini hasil saya jadi juru potret buku tahunan di TK anak-anak selama hampir tiga tahun berturut-turut. Saya pun bukan ahli motret dan sepenuhnya mengandalkan kamera suami yang di-auto 😅. Tapi demi efisiensi anggaran ya jadinya saya mengajukan diri. Sebenarnya sih karena rindu berurusan sama buku hehehe ... Nah dari pengalaman itu, ada beberapa hal yang saya catat untuk diingat.

1. Mengumpulkan Dokumentasi SELURUH kegiatan
I mean the whole activities. Makanya sekarang diusahakan setiap ada acara yang orangtuanya boleh nimbrung, saya datang untuk menambah koleksi foto. Kalau hanya ada guru-guru ya mau ga mau rada sabar-sabar kalau sudut pandangnya ga pas menurut saya. Biasanya saya mengingatkan ke ibu guru, paling tidak ada foto anak-anak bersama duduk manis (biasanya berlaku untuk kegiatan kunjungan). Foto dari walimurid pun ga serta merta saya hapus dari ponsel walaupun tidak ada foto anak saya. Tetap disimpan di folder laptop, siapa tahu dibutuhkan.




2. Pertajam Kemampuan Mengabsen Anak
Saat saya sempat mengambil foto di suatu kegiatan, penting untuk bisa tahu siapa saja yang belum difoto. Hal ini untuk menghindari para walimurid yang sedih melihat tak satupun foto yang di-share ada anaknya. Biasanya para orangtua bekerja ya. Jadi tanpa bermaksud pilih kasih, yang ga ada orangtuanya biasanya saya foto lebih sering. Bukan apa-apa, soalnya saya kan ala-ala jadi ga tentu sekali motret langsung bagus. Kalau fotonya hanya sekali lalu buram lalu si anak ga ada dokumentasi sama sekali oleh orangtuanya, niscaya begitulah ... pasti ada yang sedih. Malah tak jarang, karena sibuk foto anak orang, foto anaknya sendiri malah seadanya ^^’.

3. Konsep
Kalau ini terkait buku tahunan. Karena serba sederhana, konsep jadi harus kreatif. Dan konsep ini juga harus selaras sama layouter-nya. Biasanya demi penghematan, saya pilih konsep yang tidak pakai crop atau ilustrasi berlebihan. Layouternya pun gratisan, masa saya minta yang serba wah ini itu. Dua kali bikin buku tahunan TK, saya banyak mengkoreksi diri terkait konsep ini. Apalagi untuk anak TK memang yang paling penting adalah foto anaknya jelas dan bagus ekspresinya, which is sulit yaa ... anak-anak itu kalau difoto satu-satu itu gayanya kaya mau pasfoto, tegang tegap gitu. Mungkin karena bukan orangtuanya yang foto. Tapi kalau mengandalkan koleksi foto dari orangtua masing-masing, saya suka khawatir dengan inkonsistensi kualitasnya. Kan tiap orang punya definisi yang berbeda-beda.



4. More is Better
Harus selalu punya backup plans siy intinya. Mengambil foto sebanyak-banyaknya di setiap kesempatan dapat membantu saat terjadi error ketika sesi foto untuk buku tahunan. Yang paling sering sih ketika foto bersama ternyata banyak yang ga masuk. Sedangkan saya ga terlalu suka metode foto anak di-crop lalu dibuat seolah-olah hadir. Terlalu banyak efek. Antara ga suka sama ga bisa siy hehehe ... Jadi punya banyak koleksi itu sangat membantu, apalagi jika berasal dari kamera yang sama hihihi ...


5. Belajar Fotografi
Mau ga mau harus belajar cara foto sih. Mengandalkan auto kadang ga dapat hasil yang diharapkan. Apalagi suka dikritik sama suami. Ya cahaya lah, ya fokus. Padahal motretnya pun sudah kaya akrobat karena namanya anak-anak geraknya cepat dan tidak diduga, beda banget sama potret kue hehehe ... Makanya harus berani minta maaf juga kalau dikeluhkan para orangtua jika ada yang ga berkenan. Kan ga mentang-mentang proyek terima kasih, terus boleh sebisanya saja. Iya ga siy?


6. Pasrah Ga Punya Foto Diri
Walau termasuk anggota komite, yang namanya juru potret yah harus siap kalau pada akhirnya foto dirinya sendiri ga ada. Hahaha .... Yah sejak menghilangkan salah satu komponen tripod, dan belum beli lagi, jadi pasrah ajalah hahaha pure juru potret. Biar kalau mau disalahin, ga ada fotonya di buku tahunan. Lah malah mau kabur ^^.


Apa pun itu,  mudah-mudahan tahun ini bisa buat yang lebih baik. Semangat.


Jumat, 08 September 2017

JJS: Nyaris Terdampar di d'Kandang Farm


Setelah dipikir-pikir sepertinya sudah lama sekali kami tidak pergi ke tempat yang bukan mal jika akhir pekan datang. Kalau ga ke rumah nenek, ya ke rumah nenek hehehe .... atau mentok-mentok nongkrong di rumah dengan bujukan ke anak-anak bakal diizinkan main di Funworld. Lagian bingung juga mau nge-mal. Kalau buat makan-makan doang mah ga aci lah buat anak-anaknya Pak Hery. Akhirnya datang juga inisiatif dari Suami untuk mengajak kami sekeluarga ke d’Kandang Farm yang berlokasi di Depok.

Bukannya apa-apa, kalau saya yang usul, seringnya ditolak. Jadi yah mending tunggu kesiapan dari si pemegang duit, bukan?
Tarif belum mencapai Rp.100000,- saat saya mengorder taksi online untuk perjalanan dari Kalibata City ke d’Kandang Farm. Soalnya ketika dijalani, itu rutenya membingungkan hahaha. ... bersyukurlah ada GPS karena rambu-rambu menuju d’Kandang Farm menurut saya kurang banyak dan kurang representatif.


1. Meutia kena charge HTM


Letak d’Kandang Farm sendiri agak masuk ke perkampungan dan mojok. Jadi dari lahan parkir,  masih jalan sekitar 100-200 meter sebelum tiba di loket. Ternyata HTM telah diberlakukan sesuai tinggi badan. Dan Meutia berada di pas 80 cm, sehingga ikut membayar tiket masuk sebesar Rp.10000,-  Sudah termasuk dengan satu botol yogurt homemade untuk masing-masing tiket. Sebenarnya kalau datang lebih pagi antara jam 6-9 pagi di hari Minggu masuknya gratis loh.




2. Cocok untuk Piknik dan konten Instagram


Oleh karena tidak ada larangan membawa makanan, maka tempat ini enak banget kalau dijadikan area piknik. Saya bersyukur karena walau tidak bawa makanan, masih ada satu mobil saudara yang datang belakangan dan bawa makan. Nebeeeeeng! Mungkin karena banyak yang piknik, spot kuliner di sini tidak terlalu menonjol ya. Banyak rumah-rumah kayu yang berjudul warung makan tapi isinya kosong. Kalau mau makan pun cukup nyaman karena ada beberapa gazebo disediakan di sana. Namun, tetap jaga kebersihan yaaa ....

Nah, selain untuk piknik, bagi saya tempat ini cukup instagramable. Penataan taman yang ciamik dan tidak berlebihan menyediakan spot foto buatan, membuat d’Kandang Farm masih terlihat asri.



Untuk anak-anak? Ga usah ditanya. Saya bahkan begitu masuk langsung memberi peringatan, tidak boleh main air. Hal itu dikarenakan kami langsung disambut oleh spot air mancur yang memang dimanfaatkan oleh pengunjung kecil untuk bermain air. Main air bisa di mana aja lah. Saat ini, saya lagi ga mau ngurusin anak-anak dengan baju basah. Ada juga arena rumah bermain dari plastik , tapi karena pengunjung banyak kayanya ga seimbang deh. Toh, di rumah juga ada yang begituan hihihiy ...

Jadi lebih baik langsung ke wahana yang memang disiapkan oleh d’Kandang saja.

3. Rabbiton
Setiap wahana rupanya ada bayarannya. Ya iyalaaaah ....


Bisa terusan, bisa ga. Saya pilih yang ketengan saja. Seperti misalnya di arena Rabbiton yang dibayarkan hanya pakan, jadi mau berapa pun orang yang masuk ga masalah. Si bontot masih bisa menikmati lihat-lihat kelinci, kambing, ayam, burung kalkun, hingga kebo bule walau dia takut memberi makan mereka. Tidak seperti kakaknya, dua ember ludess sekejap.



4. Memberi Susu ke Anak Kambing


Bagi anak-anak, memberi susu ini hal baru. Tantangannya adalah, anak-anak kambing ini agresif. Jadi begitu masing-masing anak diberi botol yang sudah berisi susu formula, anak-anak kambing itu langsung menyerbu si pemegang botol.  Sontak hal ini membuat anak laki satu-satunya ngibrit sambil melempar botol susunya. ^^ Beda sama kakaknya ...

5. Naik Delman


Kalau yang ini paket murah meriah karena bisa ramai-ramai. Ada juga naik kuda perorangannya. Tracknya juga lumayan, lewat jalan yang ga akan dilewati orang-orang umum jadi bisa melaju kencaaang ^^

6. Yang  Tidak Dikunjungi
Ada juga wahana yang tidak kami kunjungi karena satu dan lain hal, seperti: panahan, naik kerbau, flying fox, menangkap ikan, dan arena permainan rumah balon. Soalnya waktu sudah sore dan d’Kandang ini tutup jam 4 sore. Jadi kami memanfaatkan waktu dengan bermain bebas. Keponakan bahkan mengeluarkan inline skate-nya, sedangkan anak-anak saya mencari binatang lain yang tidak dikandangi, seperti ... kucing. Suami sempat cari tempat makan, tapi hanya satu yang masih buka dan hanya tersisa nasi goreng. Rupanya kurang banyak kami  makan siang tadi karena anak-anak turut minta nasi goreng. Saya? Foto-fotolah ....



Tempat shalatnya juga nyaman, hanya becek banget di tempat wudhu perempuannya. Lokasinya juga ada beberapa, yang nyaman yang terletak di ‘dataran’ atas karena berada di atas kolam ikan.  Ada beberapa gazebo besar yang  sepertinya memang bisa digunakan untuk paket-paket gathering gitu.



7. Kok Ga Ada Taksi Ya?
Saat para sapi sudah kembali ke kandang (tapi masih bisa ditengokin), para sepupu masih asyik panahan di penghujung hari, kami berlima pun pulang. Jalan kaki menuju jalan raya sambil terus mencoba order taksi online, dan gagal .... lalu kami di tepi jalan itu berharap ketemu taksi atau angkot yang bisa membawa kami ke jalan yang lebih ramai, tetap saja, nihil. Si anak cowo sudah tidur terduduk memeluk tungkai ayahnya yang menggendong si bontot. Oh tidak, apakah kami terdampar di sini?



Tapi rupanya seorang anak ABG yang sedari tadi nongkrong bercandaan cekakak cekikik bersama teman-temannya menghampiri kami. Rupanya di daerah situ, sudah tidak ada lagi angkutan umum yang lewat jika sudah sore. Lalu dia menawarkan diri mengantarkan dengan motornya. Ojek dadakan. Bersama motor kawannya akhirnya kami bisa menemukan taksi yang sedang berhenti di tepi jalan. Ah, anak alay ini, ternyata Allah titipkan bantuan melalui mereka  ... terima kasih yaaa sudah melaju pelan-pelan dan mengingatkan kawannya juga untuk hati-hati karena bawa anak-anak.

Depok sore itu macet sangat. Mungkin itu sebabnya taksi online enggan mengambil. Yah sudahlah, lain kali bareng mobil rombongan saja biar tidak bingung pulangnya hehehe....


Kamis, 07 September 2017

KAMYStory: Alasan Saya Suka "Islam itu Ramah Bukan Marah"


Tidak banyak buku yang ketika dibaca dua atau tiga kali masih memberikan efek ‘waw’ atau bahkan lebih, apalagi kalau buku itu adalah nonfiksi. Dan buku ini salah satunya. Bahkan kalau saya biarkan tangan ini mengambil stabilo, maka sudah berhias warna warni di sana sini untuk kutipan-kutipan keren.

Irfan Amalee bukan orang baru bagi saya. Walau tidak pernah berurusan langsung dengannya, tapi kalau sudah mengemukakan gagasan itu rasanya ada harapan untuk dunia. Ulasan kegiatan beliau di bawah bendera Peace Generation tidak jarang membuat saya terharu. Apalagi kalau teringat sedang berada di dunia yang penuh caci maki.

Sedih loh begitu berhadapan dengan mereka yang suka melabeli negatif even on daily basic. Ada sekian banyak reaksi yang hendak saya lontarkan, yang jika tidak saya tahan bisa jadi saya pun telah serupa dengan mereka. Istigfar ... istigfaaar.

Apakah Rasulullah pernah marah? Tentu saja. Namun, secara keseluruhan, wajah Islam yang seperti apakah yang Rasulullah tampakkan dalam dakwahnya? Ramah atau Marah? Halus atau sindir-sindiran?

Kang Irfan mengambil peristiwa-peristiwa terkini yang kemudian disandingkan dengan cara Rasulullah bersikap dalam menghadapi berbagai hal saat melakukan dakwahnya. Dan tentu, sikap Rasullullah adalah sunnah bagi para pemeluk Islam, bukan? Seperti yang diingatkan kang Irfan dalam babnya berjudul, “Manakah Sunnah yang Lebih Utama, Janggut atau Senyum?”

Jika mengingat perilaku Rasulullah terasa jauh dan sulit, maka bukalah judul “Belajar dari Bapak Bangsa Kita ...” yang memaparkan tentang hubungan Soekarno-Buya Hamka, Muhammad Natsir-Soeharto, dll. Sebuah situasi yang walaupun berbeda pendapat tetapi tidak saling menghilangkan kemanusiaan di antara mereka. Seperti ketika saya bertengkar dengan kakak saya, walaupun pernah saya delete dari pertemanan di media sosial tapi saya menyadari bahwa yang namanya saudara lebih dari status perkawanan di dunia maya. Nah, bukankah sesama muslim itu bersaudara. Pada yang nonmuslim pun bersaudara dalam kemanusiaan.


Pertanyaan dalam judul “Apakah Kamu Tipe Kompor atau Tipe Jembatan?” ini menggema dari telinga hingga ke hati saya. Anak sulung saya tipe kompor, dan melihat dirinya, saya jadi terbayang orang-orang yang benar-benar senggol bacok di luar sana. Sebuah PR besar bagi saya ketika setiap kali si sulung melontarkan sesuatu pernyataan yang dia dengar yang kemudian disambut oleh adiknya secara mentah-mentah. Benar-benar momen saya diacuhkan oleh mereka yang tenggelam dalam praduga dan prasangka sedangkan saya sudah mengelilingi mereka untuk mengatakan bahwa itu tidak benar. Ini baru dua orang anak kecil loh. Gimana yang sudah dewasa? Oh help me God ... Menjadi tipe jembatan itu tidak mudah. Tidak diterima di sisi satu, dimusuhi di sisi lainnya. Maka, judul di atas berubah menjadi, “Beranikah kamu menjadi tipe jembatan?” di kepala saya .... Berani ga yaa ....?  Tapi kalau ga berani, mau dibiarkan saja orang-orang pada bertikai?


Ada kutipan yang sangat saya suka dalam judul  “Seberapa Pentingkah Membaca Bagi Kita?”:
“Berapa kali Allah dalam Al-Quran menyuruh ibu-ibu pakai kerudung?” Ibu-ibu diam karena tidak ada yang tahu.
“Hanya satu kali,” kata Pak Satia. “Tahukah ibu-ibu berapa banyak ayat yang memerintahkan membaca dan menulis?” Ibu-ibu dia karena tidak ada yang tahu. “33 kali!” lanjutnya.

Jadi, oleh karena menutup aurat sangat penting, maka membaca menjadi SANGAT PENTING yang dikuadratkan 33x. How big is that?

Saya semakin merasa menjadi butiran debu saat Kang Irfan menyebutkan bahwa Al-Thabari, seorang mufasir dan sejarawan Islam menulis 40 halaman setiap hari! Ya ampun, saya mau update blog seminggu sekali saja seperti sedang disuruh plank 3 menit. Maju mundur maju mundur, akhirnya ga jadi jadi.

Mau saya sih dituliskan saja semua di sini isi bukunya, tapi namanya membajak karya orang dong ^^’ Maka marilah membeli buku seharga Rp44.000,- ini di gelaran IIBF di JCC Senayan mulai tanggal 6-10 September ini. (Lha jadi jualan ^^’). Beli buku yang lain juga ya. Jangan lupa dibaca, jangan difoto doang. Ada begitu banyak hal yang tidak kita ketahui di luar sana. Banyak baca, banyak menulis biar berani jadi jembatan eh agen perdamaian (ngomong buat diri sendiri).